Suara.com - Wakil Ketua MPR RI Mahyudin menginginkan Undang-Undang Terorisme direvisi setelah terjadi kasus pelemparan bom molotov di Samarinda, Kalimantan Timur, oleh pelaku yang ternyata pernah dipenjara sebelumnya dalam kasus terorisme.
"Program deradikalisasi yang dijalankan selama ini tidak menjamin seorang teroris yang telah menjalani hukum, kemudian dibebaskan, tidak akan mengulangi lagi perbuatannya," kata Mahyudin dalam rilis di Jakarta, Sabtu (19/11/2016)
Mahyudin mencontohkan pelaku bom di Samarinda, yang merupakan orang yang pernah dipenjara dalam kasus terorisme, kemudian dibebaskan dengan pengawasan, ternyata pelaku mengulangi perbuatannya.
Untuk mencegah perbuatan terorisme, menurut Mahyudin, harus dilakukan dengan merevisi Undang Undang Anti Terorisme.
Dengan penguatan UU Terorisme, dia bisa mengantisipasi kemungkin bahwa pelaku yang sudah dinyatakan insyaf tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
Dia juga mengatakan pentingnya penguatan Pancasila yang disampaikan antara lain melalui program sosialisai Empat Pilar oleh MPR untuk menunjukkan bahwa masyarakat tidak takut dan terus bersatu melawan terorisme.
"Kalau semua rakyat Indonesia dengan sebenar-benarnya mengamalkan Pancasila dengan baik, saya yakin di Indonesia akan lahir sebuah persatuan yang kuat, tidak bisa dipecah belah, dan tak bisa diobok-obok," ucap Mahyudin.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto berharap DPR RI segera meloloskan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar terdapat keleluasaan menangani terorisme.
"Agar ada keleluasaan untuk segera menangani terorisme dengan cara-cara yang benar, yang dilindungi hukum sebab kalau tidak, indikasi orang untuk meneror itu, kalau undang-undang yang biasa tidak bisa ditangkap sebelum beraksi," kata Wiranto ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (18/11).
Peraturan itu ditujukan untuk melakukan tindak preventif dengan mengamankan calon pelaku tindak pidana terorisme sebelum melakukan kriminalitas.