Suara.com - Bagaimana sudut pandang proses penanganan kasus penodaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari hukum pidana?
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Teuku Nasrullah mengatakan jika mengacu pada keputusan Mahkamah Agung, perkara yang dianggap mengandung unsur penistaan agama Islam rujukannya adalah Majelis Ulama Indonesia.
"Ini tidak terkait dengan jumlah banyaknya ahli pro dan kontra, tapi dari kebenarannya. Merujuk pada pendapat MA, bagaimana MA kan sudah memutuskan perkara ini, jika ada penistaan agama Islam rujukannya Majelis Ulama Indonesia," ujar Nasrulllah dalam diskusi publik bertajuk Kasus Ahok Nista Islam dalam Perspektif Hukum Pidana di Rumah Aspirasi Rakyat di Jalan Cut Nyak Dien, Gondangdia, Jakarta, Kamis (10/11/2016).
Nasrullah mengatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada bab secara khusus yang mengatur tentang penistaan agama. Yang ada di Pasal 156a dan Pasal 157 KUHP adalah bab mengenai ketertiban umum, yang di dalamnya mengatur tentang penistaan atau penghinaan terhadap suatu golongan.
"Karena di KUHP kita tidak ada bab yang khusus mengatur penistaan agama. Yang ada adalah yang mengatur ketertiban umum, ada pasalnya yang mengatur penistaan agama," ujar Nasrullah.
Nasrullah menjelaskan sebelum tahun 1965, kasus penistaan agama belum diatur dalam KUHP. Setelah peristiwa pemberontakan PKI di Purwakarta tahun 1965, dimana dokumen-dokumen pemerintah termasuk kitab suci Al Quran diinjak-injak.
Ketika itu, pemerintah melalui Perpres Nomor 1 Tahun 1965 memasukkan Pasal 156 a dalam KUHP.
"Ada sebuah pemberontakan PKI di daerah Purwakarta, ada gedung pemerintah dikuasai PKI dan dijarah batang-barangnya, dokumen-dokumen disikat, buku-buku diambil, Al Quran diambil, dimasukkan dalam karung dan dipadatkan, ditekan. Oleh anggota PKI tersebut diinjak-injak, kemudian pelaku yang menginjak-injak itu dilaporkan bahwa dia sudah menginjak-injak Alquran," katanya.
"Nah di pengadilan yang bersangkutan mengatakan sama sekali tidak ada niat tidak ada maksud menghina umat Islam sama sekali. Tujuannya hanya memadatkan karung, tapi dia dihukum," Nasrullah menambahkan.
Nasrullah menambahkan pelaku penginjak-injak Al Quran tersebut kemudian dihukum karena dianggap telah mengganggu ketertiban umum.
"Pasal 156 itu ada di bawah bab ketertiban umum, bukan bab penistaan agama, nggak ada bab penistaan agama, pasalnya ada, itu diatur bab ketertiban umum. Apa yang diatur, ini dijaga kepentingan umum, setiap orang itu harus menjaga ketertiban umum," kata Nasrullah.
Nasrullah kemudian menyontohkan kasus sastrawan Arswendo Atmowiloto yang pernah dituduh melecehkan umat Islam karena menerbitkan hasil survei di tabloid Monitor. Hasilnya, Soeharto di urutan pertama, sedangkan Nabi Muhammad berada di urutan kesebelas. Arswendo kemudian dijerat dengan pasal-pasal KUHP terkait penodaan agama dan divonis dengan hukuman lima tahun penjara. Namun Arswendo akhirnya dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara.
Saat itu, Arswendo mengaku tak mempunyai maksud menghina Nabi Muhammad. Dia mengatakan hanya mengangkat hasil survei.
Dalam kasus Ahok, menurut dia, seharusnya polisi merujuk ke MUI.
"Kasus yang sekarang ini ramai, Kabareskrim sangat cerdas, 'kami harus menunggu pendapat Majelis Ulama Indonesia,' bener, kan," kata Nasrullah.
Nasrullah menyayangkan jika MUI tidak lagi menjadi rujukan terkait dugaan perkara penistaan agama.
"Saya nggak tahu sekarang, ternyata Majelis Ulama Indonesia terdegradasi, agak turun derajatnya, nggak lagi jadi rujukan, saya nggak tahu, hukum kan gitu, tapi harus ada pertimbangan," katanya.