BS Tuding KPK Diskriminatif dalam Kasus Korupsi Infrastruktur

Adhitya Himawan Suara.Com
Selasa, 08 November 2016 | 07:36 WIB
BS Tuding KPK Diskriminatif dalam Kasus Korupsi Infrastruktur
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Budi Supriyanto (tengah) usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (15/3). [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Kasus dugaan korupsi infrastrukur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PURR) yang diduga melibatkan mantan anggota DPR RI, Budi Supriyanto (BS), rencananya akan dibacakan putusan oleh pengadilan Tipikor pada Kamis (10/11/2016)mendatang. Menurut BS melalui koleganya, jika dakwaan dan tuntutan Jaksa KPK dibenarkan oleh Majelis Hakim, tentu akan ada babak selanjutnya menyangkut pimpinan dan anggota Komisi V DPR yang memiliki dan menempatkan Program aspirasi kepada Kementerian PUPR.

BS melalui koleganya mengatakan bahwa terdapat perlakuan yang kontras dan cenderung mengarah diskriminasi yang dilakukan oleh institusi KPK. BS sepakat bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan, namun menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya adalah ketidakadilan.

“Dengan demikian pemberantasan korupsi tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang melanggar aturan terlebih melampaui batas keadilan,” kata BS dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (7/11/2016).

BS menegaskan bahwa dirinya tidak keberatan dengan status Juctice Collaborator (JC) yang diterima oleh Damayanti Wisnu Putranti, maupun Abdul Khoir (kontraktor) meski sesungguhnya mereka adalah pelaku utama. Namun yang BS tidak habis pikir adalah; pertama, tuntutan dirinya sangat jauh berbeda dengan yang diterima mereka berdua, padahal ststus JC diberikan saat mereka menjadi tersangka, sedangkan yang pelaporan gratifikasi (yang dianggap suap) yang BS lakukan saat dirinya belum jadi tersangka.

“Kedua, JC tidak meringankan tuntutan maupun putusan melainkan hanya untuk mendapatkan hak-hak sebagai narapidana seperti remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat, sedangkan pelaporan gratifikasi yang saya lakukan dibenarkan secara hukum dan dapat membebaskan penerima gratifikasi,” tegasnya.

Ketiga, sambung BS, apakah karena Pimpinan KPK tersinggung ketika Penasehat Hukum BS memutarkan video di persidangan yang berisi wawancara Pimpinan KPK Saut Situmorang di Metro TV yang pada intinya menyatakan BS dijadikan tersangka karena mengembalikan uang gratifikasi dalam jangka waktu lebih dari 30 hari, sehingga BS harus dituntut tinggi jauh melebihi actor intelektual, meskipun faktanya adalah 19 hari sejak penerimaan.

“Jikapun gratifikasi yang dianggap suap tersebut memang suap murni, dalam kondisi dan situasi yang menimpa saya, apa yang seharusnya dilakukan oleh saya menurut KPK, apakah uang tersebut jangan dilaporkan? harus dihabiskan dahulu? dikembalikan kepada pemberi atau keluarganya?,” tanyanya.

Menurut BS, yang dekat dengan keadilan dan kepastian hukum adalah menerapkan Pasal 12B dan 12C dalam perkaranya. Jika yang diterapkan adalah Pasal 12 huruf a, maka pendzoliman akan terjadi dan ketidakpastian hukum terpapar di depan mata, sebab tidak akan ada lagi yang melaporkan (gratifikasi yang diduga/dianggap suap) kepada KPK, sebab selain pasti jadi tersangka, juga akan dituntut dengan tuntutan yang sangat tinggi.

Sekali lagi, BS menegaskan bahwa yang diatur dalam Pasal 12 B UU Tipikor sesungguhnya bukan Gratifikasi, melainkan Gratifikasi yang dianggap suap. Maka, dalam perkaranya, karena tidak tertangkap tangan, tentu penerimaan uang tersebut haruslah disebut sebagai gratifikasi yang dianggap suap.

“Jika majelis hakim sependapat dengan Tuntutan Jaksa KPK terkait dengan penerapan Pasal 12 huruf a UU Tipikor, maka seluruh Pimpinan dan anggota Komisi V DPR RI tinggal menunggu antrian untuk masuk gedung KPK dengan wajah pucat pasi karena menyandang status tersangka,” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI