Kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat Hillary Clinton diprediksi akan menang melawan capres dari Partai Republik Donald Trump dalam pemilihan umum presiden (pilpres) AS 2016 pada 8 November.
Salah satu orang yang meramalkan kemenangan Hillary Clinton dalam pemilu AS itu adalah Profesor Ilmu Politik dari Universitas Miami, Joseph Uscinski.
"Prediksi hasil dari pemilu terlihat jelas kalau 'electoral college' akan dimenangkan oleh Hillary Clinton," kata Uscinski.
"Electoral College" adalah badan yang memilih presiden dan wakil presiden Amerika Serikat setiap empat tahun. Warga Amerika Serikat tidak langsung memilih presiden atau wakil presiden; sebaliknya mereka menunjuk "pemilih" (electors), yang biasanya akan memilih kandidat tertentu.
Oleh karena itu, presiden tidak ditentukan oleh suara populer nasional. Sebaliknya, setiap negara bagian memiliki kursi dalam suatu "electoral college", yang dibagi kira-kira sesuai dengan jumlah penduduknya. Untuk banyak negara bagian, calon yang menang adalah orang yang mengumpulkan semua suara pemilu di negara bagian itu.
Menurut Uscinski, Hillary Clinton mempunyai modal yang cukup, dibandingkan Trump, untuk berperan sebagai Presiden AS.
Hal itu didukung dengan pengalaman Hillary saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS pada masa pemerintahan pertama Presiden Barack Obama.
Selain pengalaman, kata dia, faktor lain yang mendekatkan Hillary ke kursi nomor satu di AS adalah dukungan dari kaum minoritas, yang tampaknya sulit diperoleh oleh Trump -- capres Partai Republik.
Dia menyebutkan meskipun termasuk golongan minoritas, warga Latin mempunyai suara cukup besar di setiap pemilu AS. Hillary dalam beberapa jajak pendapat terakhir berhasil mendulang suara signifikan dari warga keturunan Latin di AS.
"Saat ini 70 persen warga AS penduduk kulit putih, tetapi etnis Latin terus bertambah. Kedepannya pasti sulit memenangi pemilu tanpa mendapat dukungan komunitas Latin," ujar dia.
"Donald Trump sama sekali tidak terlihat untuk mendapat suara dari mereka, jadi kaum Republik akan terluka dalam beberapa pemilu ke depan," tambahnya.
Tidak hanya diprediksi unggul dalam perolehan suara dari kalangan warga Latin, Hillary juga diperkirakan mendapat dukungan yang lebih dibandingkan Donald Trump dari komunitas warga Muslim di Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil survei nasional yang dilakukan Dewan Hubungan Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations/CAIR), sebuah organisasi pembela hak sipil Muslim di AS, lebih dari 70 persen dari total warga Muslim di Amerika Serikat akan memilih Hillary Clinton dalam pemilihan presiden AS pada 8 November.
"Sekitar 72 persen warga Muslim AS yang akan menggunakan hak pilihnya mengatakan mereka akan memberikan suaranya untuk Hillary Clinton, sementara empat persen lainnya mengatakan mereka akan memilih Donald Trump," kata Direktur CAIR untuk Departemen Urusan Pemerintahan, Robert S. McCaw saat ditemui di Washington DC, Jumat (4/11/2016).
Menurut McCaw, banyak warga Muslim AS cenderung lebih memilih Hillary Clinton dibandingkan Donald Trump, karena warga Muslim di AS merasa lebih dekat dengan Partai Demokrat dibandingkan dengan Partai Republik.
"Persentase warga Muslim Amerika yang mengatakan mereka lebih dekat ke Partai Demokrat tetap konstan, dari 66 persen dalam jajak pendapat serupa yang diambil pada 2012, menjadi 67 persen pada hari ini," ujar dia.
McCaw menyebutkan bahwa sebanyak 62 persen responden dari kalangan Muslim di AS mengatakan bahwa Partai Republik tidak ramah terhadap komunitas Muslim, dan angka itu meningkat dibandingkan dengan hasil survei pada 2012 yang hanya mencapai 51 persen responden.
Sementara hanya dua persen responden yang mengatakan bahwa Partai Demokrat tidak ramah terhadap komunitas Muslim di AS, di mana angka itu turun sebesar empat persen dibandingkan dengan hasil survei pada 2012.
McCaw menambahkan ada sekitar 12 persen dari warga Muslim AS yang sebenarnya mendukung Partai Republik tetapi tidak mau mendukung Donald Trump dalam pemilihan presiden AS.
"Trump itu Islamophobic. Dia mengeluarkan pernyataan buruk, seperti Islam adalah sebuah agama yang penuh kebencian," tutur dia.
Selain keunggulan dalam jajak pendapat yang dilakukan terhadap kalangan minoritas AS, Hillary Clinton juga memimpin perolehan suara dalam jajak pendapat nasional di AS.
Rata-rata jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei profesional dengan metodologi statistik menunjukkan bahwa perolehan suara yang dikumpulkan Donald Trump tertinggal kira-kira sebesar enam persen dari lawannya, Hillary Clinton.
Dua pekan menjelang hari H pemilu AS, banyak proyek jajak pendapat yang memperkirakan kemenangan bagi Hillary Clinton. Proyeksi tersebut antara lain dikeluarkan oleh New York Times yang memprediksi kemenangan bagi Hillary sebesar 92 persen, FiveThirtyEight 87 persen, dan PredictWise 90 persen.
Namun, hampir tidak ada jajak pendapat atau pun proyeksi hasil pemilu AS yang menunjukkan kemenangan bagi Capres Partai Republik Donald Trump.
Selain itu, Hillary mengungguli perolehan suara Trump sebanyak 15 persen untuk kalangan pemilih awal (early voters), beberapa hari menjelang pemilihan presiden AS.
Secara keseluruhan, Hillary Clinton juga tetap di jalur untuk memenangkan suara mayoritas dalam "electoral college".
Peluang Hillary untuk mendapatkan 270 "electoral college" yang dibutuhkan untuk memenangkan kursi kepresidenan tetap lebih dari 95 persen, menurut hasil jajak pendapat State of the Nation yang dirilis Sabtu (29/10).
Proyek itu memperkirakan bahwa Hillary akan menang dengan 320 suara (elektoral) melawan 218 suara (dari total 538 suara elektoral), dengan 278 suara kokoh untuk Partai Demokrat.
Tidak hanya itu, kemenangan Hillary Clinton juga diprediksi melalui penilaian terhadap acara debat capres AS yang dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 26 September, 9 Oktober, 19 Oktober.
Akan tetapi, persaingan antara Hillary Clinton dan Donald Trump dalam upaya menuju Gedung Putih masih terus berlangsung sampai salah satu dari kedua capres resmi dinyatakan sebagai pemenang dan mendapatkan kursi nomor satu di Negeri Paman Sam. (Antara)