Mantan Jubir Gus Dur: Hukum Salah, Jika Ahok Dinyatakan Bersalah

Minggu, 06 November 2016 | 09:32 WIB
Mantan Jubir Gus Dur: Hukum Salah, Jika Ahok Dinyatakan Bersalah
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kampanye di Muara Karang , Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. [suara.com/Bowo Raharjo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mantan juru bicara kepresidenan, Wimar Witoelar menilai Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak menista agama. Dia menilai Ahok dihasut oleh orang yang membuat transkrip secara salah dan berbeda dengan ucapan aslinya.

"Kalau Ahok tetap dinyatakan bersalah, berarti ada pengadilan dan sistem hukum yang tidak benar. Tetapi saya rasa Ahok tidak akan dihukum, karena dia terlalu tidak salah," kata Wimar ketika ditemui di Jambi, Sabtu (6/11/2016) malam.

Mantan juru bicara kepresidenan era Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid tersebut juga meminta semua pihak menghargai proses hukum dan tidak ada yang menghakimi Ahok. Wimar juga berpendapat unjuk rasa 4 November 2016 adalah keadaan yang dibangkitkan secara unilateral oleh politisi.

Pendiri Yayasan Perspektif Baru (YPB) tersebut mengatakan perlu sosialisasi terbuka mengenai masalah yang ditimbulkan sebagai wujud penanganan jangka menengah dan jangka panjang. Pemerintah, kata dia, juga tidak boleh terlalu bereaksi dengan suasana publik karena nanti bisa dianggap menjadi sebuah pencitraan.

"Yang seharusnya bekerja adalah media dan DPR untuk merepresentasikan yang sebenar-benarnya," ucap Wimar.

Sebelumnya, pada Jumat (4/11) terjadi demonstrasi besar-besaran di Jakarta oleh berbagai elemen organisasi kemasyarakatan yang menuntut kepastian hukum dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama.

Unjuk rasa yang sempat berlangsung damai tersebut berakhir dengan kericuhan antara demonstran dan aparat keamanan serta adanya penjarahan di sebuah toko swalayan modern.

Wimar memandang ada pertemuan beberapa hal dalam demonstrasi tersebut, pertama, orang-orang yang tidak menyukai Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama.

Kedua, berkaitan dengan adanya suasana pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Dan ketiga, ada keinginan untuk melakukan destabilisasi terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Itu semua bertemu di satu momen, jadi meledak, dan mudah-mudahan tidak berkelanjutan. Di setiap demonstrasi pasti ada inti keresahan dan ketidakpuasan yang perlu diperhatikan, tetapi bukan berarti dituruti penyelesaiannya. Pengunjuk rasa tidak berhak meminta solusi," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI