Suara.com - Dalam aksi damai 4 November 2016 kemarin, Presiden Joko Widodo menghindari massa yang datang di depan Istana Negara dan memilih memantau proyek kereta api di Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu, Jokowi menyerahkan mandat kepada wakil presiden Jusuf Kalla.
Guru Besar Universitas Pertahanan Salim Said mengatakan hal ini mirip peristiwa saat mendiang Presiden Sukarno memberikan mandat kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Soeharto Tahun 1966 terkait pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurutnya, Presiden Jokowi sudah lepas tangan dalam penegakan hukum terhadap Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Saya hanya ingin berbagi ingatan kepada anda, ketika kemarin Pak JK itu mengumumkan Ahok akan diperiksa dalam dua minggu, itukan adalah sebuah keputusan. Pak Jokowi sebagai presiden, kemudian kita tahu itu perintah Pak Jokowi kepada Pak Wapres, karena Pak Jokowi tidak ada di istana, saya tiba-tiba teringat Supersemar," kata Salim di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (5/2016).
Said menjelaskan, berdasarkan dokumen yang ditemukan ketika melakukan penelitian dan menulis buku mengenai Presiden Soeharto, Orde Baru dan Gerakan Satu Oktober (Gestok), ada kegalauan Presiden Sukarno menghadapi desakkan massa agar presiden membubarkan PKI. Di satu sisi, Sukarno tidak bisa lagi mempertahankan PKI, sisi lain dirinya tak bisa membubarkan PKI secara langsung karena teori Nasakom PKI sudah digadang-gadangnya ke dunia internasional.
"'Di mana muka saya', kata Bung Karno kepada Pak Harto. Kemudian Pak harto jawab, 'Serahkan kepada saya pak'. Saya temukan dokumen itu dalam penelitian saya, Supersemar itu sebenarnya tidak dramatis seperti kita bayangkan. Itu sudah understanding antara Pak Harto dengan Bung Karno, tanggung jawab diambil alih oleh Pak Harto untuk membubarkan PKI, sehingga Bung Karno tidak harus yang membubarkan PKI," katanya.
Apa yang didapatnya dalam penelitian tersebut pun dibandingkannya dengan kejadian saat ini.
"Nah, bagaimana saya menghubungkan itu, begini, kesan saya, tekanan kepada Presiden Jokowi gara-gara soal Ahok itu begitu kuat, sehingga sebenarnya Jokowi sudah capek untuk membela Ahok. Walaupun membela itu tanda petik, pokoknya itu beban. Ahok itu sudah menjadi beban bagi Jokowi. Jokowi kan masih punya rencana lebih banyak, lebih dari dari sekedar rencana Ahok di Jakarta, after all, sebagian besar apa yang dikerjakan Ahok ini sebenarnya sudah dimulai oleh Jokowi, idenya dari Jokowi, sekarang Jokowi itu capek," katanya.
Karena itu, apa yang dilakukan Presiden Jokowi saat demo 4 November 2016 kemarin, kata Said, adalah pengulangan sejarah. Tapi bedanya, Ahok kata Said sudah kebanyakan menciptakan musuh, sehingga bahaya bila dipertahankan, akhirnya diberikan perintah kepada JK agar memutuskan.
"Ahok menciptakan banyak musuh seperti saya bilang tadi, tiap pagi bangun dia lihat gadget, musuh gw siapa hari ini? Segala macam dia musuhi. Capeh Jokowi. Tapi Jokowi juga seperti Bung Karno tidak mau membubarkan PKI, jadi lepaskan saja kepada Pak JK, dan Pak JK lah yang memutuskan bahwa dia akan diproses dalam dua minggu," kata Said.