Suara.com - Ahli tata negara dari Universitas Padjadjaran Indra Perwira menyebutkan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) telah melanggar hak politik warga negara.
"Hak politik untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah pemenuhannya jelas dapat segera dilakukan selama negara tidak melakukan intervensi dengan membuat pengaturan yang melanggar hak tersebut seperti Pasal 7 ayat (2) huruf g," ujar Indra di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Hal itu dikatakan oleh Indra ketika memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dari uji materi ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang membatasi seorang mantan narapidana untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.
Indra menjelaskan bahwa hak politik merupakan salah satu hak yang paling klasik yang pemenuhannya berasal dari negara dan tidak dapat ditunda.
Lebih lanjut Indra mengatakan bahwa ketentuan a quo merupakan pembatasan hak azasi manusia yang sewenang-wenang terkait dengan hak politik seorang warga negara.
"Ini tidak sesuai dengan prinsip pembatasan hak azasi manusia yang pelaksanaannya dengan tujuan tidak melanggar hak asasi orang lain," kata Indra.
Selain itu, ketentuan a quo juga dinilai Indra memberi kesan bahwa semua jenis tindak pidana dapat mencabut hak politik seseorang.
"Atas dasar tindak pidana yang ringan sekali pun seseorang dapat dicabut hak politiknya seumur hidup," pungkas Indra.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Rusli Habibie yang merupakan Gubernur Gorontalo, yang mendapat putusan kasasi dengan pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP.
Pemohon kemudian mempersoalkan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur mengenai calon kepala daerah yang berstatus terpidana, karena ketentuan tersebut dinilai Pemohon telah melanggar hak konstitusional dengan menghalangi Pemohon untuk maju kembali dalam pemilihan kepala daerah. [Antara]