Suara.com - Indonesia masih bergantung pada energi fosil untuk memenuhi kebutuhan energinya. Data Kementerian Energi dan Sumber Data Mineral (ESDM) mencatat kebutuhan energi Indonesia dipasok dari minyak bumi sebesar 46 persen ,gas alam 8 persen, dan batubara 31 persen.
Sementara energi terbarukan hanya berkontribusi sebanyak 5 persen dengan kontribusi dari panas bumi sebesar 1,1 persen. Hal itu dipaparkan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto.
"Indonesia berada di jalur yang sering disebut "Ring of Fire" Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi sangat besar. Menurut data kementerian ESDM potensi sumber daya panas bumi di Indonesia hampir 30 giga watt dan distribusi di 330 titik potensi dengan keberadaan 127 gunung api di seluruh nusantara, akan tetapi potensi tersebut baru termanfaatkan sekitar 5 persen dari total yang ada," ujar Agus dalam sambutan pertemuan atau diskusi tingkat Senior Officials Meeting yang bertema "Potensi Tantangan dan Usulan Solusi Pengembangan Panas Bumi di Indonesia, di Gedung Nusantara III, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/10/2016).
Menurut dia, pemerintah harus memanfaatkan secara maksimal untuk menunjang Program 35.000 Megawatt yang telah dicanangkan Oleh Pemerintah diamantkan Presiden Joko Widodo dalam Nawacita.
Politisi Partai Demokrat menegaskan, DPR melihat ada enam tantangan yang akan dihadapi Indonesia dalam pengembangan panas bumi di indonesia. Tantangan pertama mengenai resiko pembiayaan dan investasi proyek panas bumi.
Pasalnya proyek panas bumi memiliki resiko yang tinggi dan memerlukan dana awal yang besar. Di mana kedua hal itu sangat terkait dengan tahapan eksplorasi terutama kegiatan pengeboran sumur eksplorasi.
Serta biaya dimuka tinggi dan waktu yang relatif lama untuk menemukan, mengkonfirmasi dan mengembangkan sumber daya panas bumi, dapat memiliki dampak negatif pada pembiayaan proyek secara keseluruhan.
Sementara estimasi biaya eksplorasi panas bumi di Indonesia mencapai 8 dari 9 persen dari total biaya proyek. Oleh karena itu, kata Agus sangat diperlukan suatu solusi yang implementatif untuk dapat mengurangi resiko kehilangan biaya investasi panas bumi.
"Kami berpandangan, untuk mengurangi resiko tersebut, Pemerintah harus berperan di dalam tahapan eksplorasi baik dari segi pembiayaan maupun teknis. Pemerintah dapat menggunakan fasilitas-fasilitas pendanaan yang ada seperti dana panas bumi yang dikelola oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dana hibah dan dana pinjaman luar negeri untuk melaksanakan hal ini. Dan untuk BUMN dapat diperkuat dengan menggunakan skema Penyertaan Modal Negara (PMN)," tuturnya.
Tantangan kedua yakni mekanisme pengelolaan wilayah kerja panas bumi. Nantinya Pemerintah akan melakukan proses lelang sesuai yang telah diatur dalam Undang Undang Panas Bumi nomor 21 tahun 2014 untuk pengembang yang ingin mendapatkan suatu wilayah kerja panas bumi.
"Oleh karena itu diperlukan Permen (Peraturan Menteri) ESDM yang tidak memperbolehkan pengalihan operasi kerja untuk setiap WKP (wilayah kerja proyek). Selain itu masih banyak wilayah kerja panas bumi eksisting yang mangkrak. Melihat hal ini, Pemerintah melalui Kementerian ESDM dapat mencabut izin wilayah kerja dari pengembang yang tidak melaksanakan kewajibannya selama ini sesuai dengan peraturan yang ada. Karena apabila tidak dilakukan, hal tersebut dapat menghambat perkembangan panas bumi ke depan," jelas Agus.