Suara.com - Pengiat media sosial, Ulin Yusron mengatakan, Pilkada DKI Jakarta adalah ajang unjuk kekuatan pengaruh media sosial pada pemilih dan calon pemilih.
"Tidak heran pertarungan yang terjadi sedemikian keras, sejak empat bulan terakhir dan tiga bulan yang akan datang," ucap Ulin Yusron, Kamis malam (20/10/2016) waktu London.
Kehadiran Ulin Yusron di London dalam rangka menjadi pembicara diskusi berjudul "Bagaimana Mengelola Isu Media Sosial". Acara ini juga dihadiri Dubes RI di London, Dr Risal Sukma.
Ulin mengatakan, informasi yang disampaikan melalui media sosial perlu memperhatikan beberapa hal. Di antaranya akurasi dalam hal isi atau pesan yang disampaikan, menggunakan judul dan bahasa yang komunikatif dan menarik, serta ditampilkan pada waktu yang tepat (real time).
Menurutnya, dalam konteks pemerintahan, media sosial dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mensosialisasikan kebijakan sekaligus mendapatkan masukan atau respon terhadap kebijakan. Apabila digunakan secara tepat dan proporsional, media sosial dapat berfungsi sebagai kontrol sosial.
Hal itu bisa dipahami karena 55-65 persen pemilih terhubung dengan media online dan media sosial. Selain itu, berdasarkan banyak lembaga survei menyebutkan masih ada 11-15 persen pemilih DKI Jakarta yang belum menentukan pilihan. Tentu saja ini ceruk yang bisa jadi akan menentukan.
Ulin menyebutkan alasan lain, kenapa media sosial menjadi medium kampanye yang efektif adalah karena berdasarkan pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2012, Pilpres 2014 dan Pilkada di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa jawara di media sosial juga menjadi jawara Pilkada. Kalau berdasar riset Politicawave kandidat yang jumlah percakapannya terbanyak dan yang sentimen negatifnya paling sedikit, maka akan menjadi pemenang Pilkada.
Mobilisasi kekuatan pengaruh di media sosial ditandai dengan banjirnya konten baik teks, meme, infografis maupun video yang diamplifikasi para pendukung ketiga calon (Ahok, Anies, Agus).
Di kubu Ahok, penyebaran informasi prestasi, kinerja dan pencapaian Ahok-Djarot terus diproduksi. Sementara Anies dan Agus memperbanyak konten yang mempertanyakan konsep pembangunan dan capaian petahana. Dua kandidat ini juga memproduksi konten dengan cara turun ke lapangan bertemu warga, tokoh kunci.
Netizen sebaiknya berhati-hati dalam menyebarluaskan konten selama Pilkada. Bukan soal ketakutan pada hukum pasal ujaran kebencian atau bahkan UU ITE, tapi Pilkada bukanlah akhir segalanya. [Antara]