Suara.com - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Muhammad Syafi'i meminta pemerintah merespon serius ultimatum yang diberikan istri mendiang aktivis HAM Munir, Suciawati. Suciwati mengultimatum pemerintah supaya membuka data hasil kerja Tim Pencari Fakta kasus kematian Munir.
"Kasih deadline ultimatum Istri Munir itu oleh Presiden (untuk diselesaikan)," kata Syafi'i di DPR, Kamis (20/10/2016).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga memerintahkan Jaksa Agung M. Prasetyo untuk menemukan keberadaan dokumen hasil kerja TPF yang sampai sekarang tak diketahui keberadaannya.
Menurut Syafi'i, Jaksa Agung harus dicopot jika tidak mampu menyelesaikan tugas Presiden.
"Kasih deadline ultimatum istri Munir itu oleh Presiden kepada Jaksa Agung. Kalau batas waktu sekian, Jaksa Agung nggak bisa mengungkap data itu, berhentikan Jaksa Agung. Memang Jaksa Agung ini nggak becus, namanya juga dari parpol bukan dari karier atau profesional," tutur Syafi'i.
Dokumen TPF diketahui hilang setelah Komisi Informasi Publik memerintahkan hasilnya dibuka ke publik.
Syafi'i pun menyayangkan dokumen tersebut tak ditemukan di Kementerian Sekretaris Negara. Syafi'i mengatakan negara yang memiliki aturan dan personel seharusnya dapat dengan mudah menemukannya.
"Saya kira, kalau yang menghilangkan data hukum itu yayasan, atau CV sebuah perusahaan kecil itu bisa diterima. Ini kan negara besar lho. Lengkap perangkatnya. Lengkap aturan dasar, aturan pelaksanaannya, personelnya, semuanya lengkap. Kemudian ada yang hilang, pemerintah harus bertanggungjawab atas kehilangan berkas itu," ujarnya.
Suciwati mengultimatum pemerintah yang dinilai lalai menindaklanjuti dokumen TPF Munir. Dia menganggap pemerintahan Jokowi membangkang atas putusan KIP yang menyatakan harus membuka dokumen TPF Munir. Dia mendesak Presiden untuk segera menemukan dan membukanya.
"Bahwa kelalaian berupa hilangnya dokumen TPF Munir dan ketidakpatuhan berupa tidak diumumkan hasil penyelidikan kepada publik dapat mengarah pada pelanggaran pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 52, 53, dan 55 UU Nomor 14 Tahun 2008," kata Suciwati.