PKS Bacakan Surat Pernyataan soal Toleransi di Paripurna DPR

Rabu, 19 Oktober 2016 | 13:12 WIB
PKS Bacakan Surat Pernyataan soal Toleransi di Paripurna DPR
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Al Muzzammil Yusuf. [almuzzammilyusuf.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Al Muzammil Yusuf menyampaikan interupsi pada rapat paripurna, sebelum membahas terkait pembicaraan tingkat dua atau pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-undang Tentang Pengesahan Paris Agreemet To The United Nation Framework Convention On Climate Change atau ratifikasi Perjanjian Paris atas Konvensi Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai perubahan iklim.
 
Dalam interupsinya, Muzammil menyampaikan terkait kegelisahan umat Islam dari pernyataan seorang doktor asal Universitas Brawijaya soal pentingnya makna toleransi antar umat beragama, terkait pernyataan Ahok yang dianggap melecehkan Al-Quran Surat Al Maidah ayat 51.
 
"Saya hanya ingin menyampaikan satu hal yang menjadi hak saya sebagai dewan. Saya ingin menyampaikan soal suara seseorang tentang makna toleransi, " ujar Muzammil dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/10/2016).
 
Oleh karena itu, ia meminta kepada Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk menghormati hukum. Pasalnya Indonesia menjunjung tinggi Pancasila.
 
"Saya ingatkan kepada presiden, Kapolri, negara kita negara hukum, Hormati hukum. Pernyataan kami kalau ada anggota mari didukung, kita hanya tuntut jalur hukum, sehingga tak perlu ditakutkan seperti apa yang dikatakan Hendropriyono. Tak perlu. Karena kita tak ingin onar. Kita hanya menjalankan Pancasila," katanya.
 
Ia pun meminta semua anggota DPR dan hadirin di rapat paripurna untuk bertakbir.
 
"Saya ajak takbir. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilham,"kata Muzammil.
 
Tak hanya itu, Muzammil pun membacakan surat pernyataan tersebut. 
 
THE HIGHEST RESULT OF TOLERANCE IS RESPECT AND SOCIAL RELATIONS
 
Oleh dr. Gamal Albinsaid
 
Bismillahirrahmanirrahim...
 
Dua hari lalu, sebelum saya menerima penghargaan Empowering people Award dari Siemens di Jerman, salah seorang panitia mendatangi saya untuk menanyakan cara bersalaman diatas panggung karena pimpinan mereka adalah seorang wanita. Mereka menghormati ketika tahu saya tidak bersalaman dengan wanita karena tidak ingin bersentuhan dengan yang bukan muhrim saya. Saya cukup menempelkan kedua tangan saya, lalu menyapa mereka tanpa menyentuh tangannya. Mereka mengatur itu diatas panggung agar saya merasakan kenyamanan. Itulah toleransi.
 
Di perjalanan ke Inggris untuk kunjungan ke 15 perusahaan, pernah saya menaiki pesawat yang tidak menyediakan makanan halal. Setelah saya sampaikan kepada mereka saya hanya bisa makan makanan halal, mereka mencari sebuah mie instan yang memiliki label halal untuk saya. Itulah toleransi
 
Ketika saya harus presentasi di California University yang bersamaan saat shalat Jumat, saya minta panitia menggeser jam presentasi kami, karena saya ingin melaksanakan Salat Jum’at disana. Mereka mengijinkan menggeser waktu presentasi saya. Itulah toleransi.
 
Ketika makan malam dengan pangeran Charles di Istana Buckingham, mereka mengatur supaya saya mendapatkan makanan untuk vegetarian agar saya merasa nyaman. Itulah toleransi.
 
Di berbagai pengalaman itu, saya merasakan dan menyimpulkan bahwa bentuk toleransi adalah hormat. Bagi saya “The highest result of tolerance is respect and social relations”, toleransi itu adalah bentuk penghormatan kita pada perbedaan yang ada. Mulai dari hal yang kecil seperti makanan, cara berpakaian, cara beraktivitas, sampai hal yang besar soal agama, kitab suci, dan prinsip Ketuhanan.
 
UNESCO dalam publikasinya “Tolerance: The Threshold of Peace”
 
menyatakan social relations adalah salah satu indikator dari suksesnya toleransi di sebuah masyarakat. Oleh karenanya hasil dari toleransi adalah kenyamanan individu dan keharmonisan sosial.
 
Mau tidak mau, pemimpin berperan besar dalam menjaga, membangun, dan menciptakan toleransi yang baik. Tidak boleh pemimpin itu masuk atau memberikan komentar terhadap agama, kitab suci, prinsip Ketuhanan, dan cara beribadah sebuah agama.
 
Peran pemimpin itu penting sekali dalam toleransi yang kita bangun. Kita rindu pemimpin yang mampu menyejukkan perbedaan kita dalam kesantunan, menciptakan keharmonisan diantara perbedaan dengan sikap saling menghormati dalam cinta kasih. Bukan pemimpin yang tidak mempedulikan perbedaan yang ada, menciptakan ketegangan dengan menghina agama, melecehkan kitab, membatasi cara beribadah. Seorang pemimpin harus menghormati agama yang berbeda dengan tidak menilai atau mengomentari agama, tidak mengomentari kitab suci, dan tidak mengomentari cara beribadah. Lalu bagaimana keharmonisan bisa hadir jika pernyataan mengarah pada pelecehan atau penghinaan pada kitab suci dan isi kitab suci?
 
Teruntuk Pak Ahok, Before you say something, stop and think how you’d feel if someone said it to you. Sungguh menyakitkan jika anda merasakan bagaimana yang kami rasakan sebagai umat Islam, kitab yang kami baca tiap hari, kami jadikan pegangan hidup, kami hafalkan, kami baca saat banyak orang tidur, kami pelajari bertahun-tahun, lalu dengan mudahnya anda sebut sebagai alat melakukan kebohongan. Apakah Pak Ahok pernah menempuh jurusan tafsir hingga merasa berhak menafsirkan Alquran seenaknya? Pak Ahok, jangan hina kitab suci saya hanya untuk kepentingan politik anda! Tidak ada sedikitpun kebohongan dalam Alquran! Hormati Alquran kami!
 
“Don’t get so tolerant that you tolerate intolerance”(Bill Maher). 
 
Kita tidak boleh mentoleransi sebuah keintoleransian.
 
Jangan salah mengartikan toleransi, “Tolerance does not mean tolerating intolerance”.
 
Saya sebenarnya tidak suka menuliskan atau memberikan tanggapan soal permasalahan politik, tapi nasehat Ayaan Hirsi Ali bahwa “Tolerance of intolerance is cowardice (mentoleransi sebuah intoleransi adalah sikap pengecut)” cukup memantapkan hati saya untuk tidak diam.
 
Gagasan toleransi Ayaah Hirsi Ali itu sama dengan apa yang dikatakan Haji Abdul malik Karim Amrullah atau yang biasa kita kenal dengan Buya Hamka, “Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah ghiroh telah hilang darimu…. Jika ghiroh telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan. Sebab kehilangan ghiroh sama dengan mati…..”,
 
Ya, jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan. Itu jika diam.
 
Lalu bagaimana “jika membela orang yang menghina agamamu?” Guntur Romli dan Nusron Wahid mungkin bisa membantu saya menjawabnya.
 
10 Oktober 2016

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI