Suara.com - Dipenuhi dengan interupsi dan perundingan dengan sembilan fraksi lainnya pada Rapat Paripurna, Rabu (12/10/2016), Fraksi PKS DPR tetap berkomitmen agar Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak memiliki muatan pasal yang lebih baik untuk disahkan menjadi undang-undang.
Demi menghadirkan muatan pasal yang lebih baik itu, walau awalnya sempat menolak, Fraksi PKS DPR kini menerima pengesahan Perppu tersebut dengan beberapa catatan kritis sebagai upaya untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam Perppu Kebiri tersebut.
Beberapa catatan kritis Fraksi PKS DPR tersebut sebagaimana disampaikan oleh anggota Fraksi PKS yang juga sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR Iskan Qolba Lubis.
"Kami menganggap Perppu ini ibarat handphone, dengan casing bagus, tapi isinya kropos. Karena masih ada beberapa kekurangan, walaupun secara wacana menginginkan pemberatan hukuman bagi pelaku," kata Iskan.
Beberapa catatan kritis Fraksi PKS tersebut, kata Iskan, adalah pertama, mengenai langkah alternatif pemerintah dalam menanggulangi kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak, dibandingkan mengeluarkan Perppu, dengan mengacu pada persebaran data kekerasan seksual yang ada di Indonesia.
"Kesan yang ada dari dikeluarkannya Perppu ini adalah pemerintah terburu-buru karena desakan opini publik. Padahal penyebab orang melakukan kejahatan seksual bukan semata karena hasrat libido yang tinggi, tapi juga menyangkut mental orang tersebut," kata legislator dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara II.
Kedua, dengan adanya Perppu ini, harus menjadi jalan untuk merevisi UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menjadi komprehensif agar dalam rangka perlindungan anak, tidak sekadar memberikan pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan di bawah umur.
“Sehingga, pada prinsipnya PKS sangat konsen melindungi perempuan dan anak, namun harus diatur dengan regulasi yang komprehensif," kata Iskan.
Ketiga, dengan adanya penyusunan UU Perlindungan Anak yang lebih komprehensif tersebut, maka pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak juga harus memerhatikan masa depan anak, bukan dengan semata-mata menaikkan ancaman pidana.
“Juga bagi korban, bagaimana merehabilitasi anak akibat trauma, bagaimana peran pemerintah daerah untuk lebih ditingkatkan melindungi anak dan perempuan, meningkatkan sensitivitas penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, dan yang terpenting faktor pemicu minuman beralkohol dan pornografi, harus dihapuskan," kata Iskan.