Suara.com - Sebelum Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, dikenal luas, tempat itu adalah yayasan Amalillah.
Yayasan Amalillah berdiri tahun 1999. Keberadaan yayasan tersebut kian senter sejak warga berbondong-bondong menyetorkan uang ke sana melalui koordinator masing-masing daerah.
Sistem yang dipakai yayasan ialah menjanjikan bunga yang besar kepada penyetor uang. Bila menyetor Rp100 ribu, akan mendapatkan Rp100 juta hingga Rp1 miliar.
Kemudian tempat tersebut menjadi padepokan. Padepokan didirikan oleh empat orang yakni Taat Pribadi, Ismail Hidayat (yang belakangan dibunuh), Abdul Gani (yang belakangan dibunuh), dan Al. Keempat orang inilah yang dulu juga menggalang dana untuk yayasan Amalillah.
"Memang awalnya dilakukan awal tahun 2005. Jadi, mereka mengumpulkan dana dari seputar Kota Probolinggo, Situbondo, dan Kabupaten Probolinggo," ujar Kapolres Probolinggo AKBP Arman Asmara Syarifudin.
Yayasan Amalillah ditutup tahun 2000. Saat itu, Taat Pribadi dan tiga pendiri lainnya kemudian beralih ke penarikan barang pusaka. Kegiatan yang baru ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat.
"Masuk kepada fase kedua, sekitar tahun 2006 hingga tahun 2011, aktivitas klenik itu kemudian berkembang hingga menjadi sebuah komunitas yang cukup besar. Dari keterangan sebanyak 42 saksi, aktivitas untuk mengambil klenik itu dari berbagai tempat, berkembang menjadi sebuah komunitas," ujar Arman.
Padepokan Dimas Kanjeng lama kelamaan memiliki banyak pengikut dari berbagai daerah. Bahkan tercatat sampai sekitar 23 ribu orang. Saat itulah, mulai ada aktivitas penggandaan uang.
Di tengah melesatnya perkembangan padepokan, sekitar bulan Februari 2015, Ismail Hidayat ditemukan meninggal dunia di Desa Tegal Sono. Abdul Gani kemudian ditemukan meninggal dunia pada 13 April 2016.
Abdul Gani sendiri ditemukan mengambang di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, oleh nelayan setempat.
Belakangan terungkap, kedua orang itu merupakan korban pembunuhan. Tersangkanya mengarah ke Taat Pribadi dan sejumlah pengikut.
Singkat cerita, tanggal 22 September 2016, anggota Polda Jawa Timur, menangkap Taat Pribadi. Saat penangkapan, Polda Jatim mengerahkan enam ribu anggota dan dipimpin langsung oleh Wakapolda Jatim Brigjen Gatot Subroto.
Sejak itulah, kasus penggandaan uang pengikut yang dilakukan Taat Pribadi terungkap.
"Meskipun kasus itu berawal dari yayasan Amalillah, kami tetap konsentrasi pada kasus pembunuhan dan penipuannya," kata Kapolres Arman.
Polisi yakin korbannya banyak. Itu sebabnya, polisi membuka posko pengaduan di berbagai tempat.
Hingga saat ini sudah ada 16 pengikut Taat Pribadi yang melapor ditipu Taat Pribadi. Yang terbaru adalah warga Paiton, Probolinggo. Kerugiannya Rp200 juta.
" Ada 16 korban yang mengadukan ke Polres Probolinggo. Terbesar korban berasal dari Kutai Kertanegara, dia mengaku rugi Rp1 milyar lebih," kata Raman.
Kasus Pembunuhan Ismail dan Abdul Gani Segera Disidangkan
Kasus pembunuhan tersebut segera masuk ke meja hijau. Berkas perkara sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Kraksaan, Probolinggo.
Tersangka kasus pembunuhan Ismail yakni Mishal Budianto (48), Wahyu Wijaya (50), Suwari, Ahmad Suryono, Tukijan (50), dan Etto Suteye alias Badrun. Tetapi Etto meninggal saat proses penyidikan di Polda Jatim.
Sedangkan tersangka kasus pembunuhan Abdul Ghani yang segera disidangkan adalah Wahyudi, Kurniadi, Wahyu, Wijaya dan Ahmad Suryono.
"Perkara untuk korban Ismail dan Abd Ghani sudah dikatakan P21 atau lengkap, dan sudah diserahkan Kejaksaan Probolinggo dan Kejaksaan Kabupaten Probolinggo. Enam tersangka sudah dititipkan di Rutan Kraksaan," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Probolinggo Edi Sumarno.