Pengacara Nur Alam: Penetapan Tersangka Harus Sesuai KUHAP

Ruben Setiawan Suara.Com
Selasa, 11 Oktober 2016 | 02:02 WIB
Pengacara Nur Alam: Penetapan Tersangka Harus Sesuai KUHAP
Pengacara Maqdir Ismail
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengacara Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Maqdir Ismail menegaskan bahwa penetapan tersangka harus dikembalikan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait kasus yang terjadi pada Nur Alam.

"Dalam KUHAP, penetapan tersangka harus memeriksa calon tersangka terlebih dahulu," kata Maqdir usai sidang praperadilan yang diajukan Nur Alam di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.

Berkaitan dengan hal tersebut, Maqdir juga menyinggung soal amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XII/2014 tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan dalam ranah praperadilan.

Sebelumnya, dalam Pasal 77 huruf a KUHAP kewenangan praperadilan hanya sebatas sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan.

"Putusan MK nomor 21 tersebut tidak hanya kumulatif tapi imperatif. Kecuali kita tidak mau pakai undang-undang, ya silakan," katanya.

Ia menjelaskan keputusan MK itu merupakan hasil dari pengujian terhadap KUHAP soal penetapan tersangka.

"UU KPK tidak mengatur tentang penetapan tersangka sehingga penetapan tersangka harus dikembalikan kepada KUHAP bukan ke UU KPK," ujarnya.

Semantara itu, saksi ahli dari pihak pemohon praperadilan yang diajukan Gubernur Sultra Nur Alam, yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita juga mengatakan penetapan tersangka harus terlebih dahulu memeriksa calon tersangka.

"Pemeriksaan harus sesuai putusan MK nomor 21, kalau calon tersangkanya tidak mau dipanggil kan juga bisa datangi oleh KPK," ucap Romli.

Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengajukan praperadilan pada Selasa (20/9) atas penetapan dirinya oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan persetujuan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayahnya periode 2008-2014.

Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan surat perintah penyidikan KPK pada 15 Agustus 2016 karena diduga melakukan perbutan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.

Nur Alam dalam perkara ini disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar 4,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri.

Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcop 50 persen), merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI