Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan Indonesia masih memerlukan adanya haluan negara karena akhir-akhir ini banyak yang menilai bahwa jalannya pemerintahan Indonesia salah arah, sudah tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Kita masih butuh haluan negara, namun haluan negara saat ini belum tentu bernama GBHN seperti pada zaman orde baru," kata Mahfud dalam seminar nasional di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu sore (8/10/2016).
Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember bersama Fraksi PDI Perjuangan MPR RI menggelar seminar nasional bertema "Haluan Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia" dengan menghadirkan sejumlah pakar konstitusi.
Menurut Mahfud, pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, peta jalan haluan negara Indonesia bukan bernama GBHN, melainkan bernama Manifesto Politik (Manipol) yang dituangkan di dalam Ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969 (GBPPNSB).
"Jadi meskipun dasarnya sama-sama Pasal 3 UUD 1945, namun pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru memberi nama dan masa keberlakuan yang berbeda atas haluan negara tersebut," tuturnya.
Pada era reformasi. lanjut dia, Indonesia juga mempunyai haluan negara sebagai turunan dari UUD 1945 yang sudah diamendemen yakni UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
"Jangkauan pembangunan Indonesia menurut UU SPPN dan UU RPJPN adalah 20 tahunan untuk jangka panjang, lima tahun untuk jangka menengah, dan tahunan untuk jangka pendek," ucap Guru Besar Hukum Tata Negara itu.
Ia mengatakan GBHN bukanlah nama dan bentuk resmi yang diharuskan ada oleh UUD 1945 karena GBHN hanya pilihan nama dan bentuk yang dikenalkan pada zaman orde baru, sehingga sebelum maupun sesudah orde baru, Indonesia mempunyai haluan negara dengan nama bentuk lain , tetapi substansinya sama.
"Haluan negara kita di bawah UUD pada era reformasi ini memang tidak diberi baju hukum Tap MPR karena berdasar sistem ketatanegaraan sekarang MPR tidak lagi mengeluarkan Tap yang bersifat mengatur (regeling)," kata Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara itu.
Selain Mahfud MD, seminar nasional yang membahas pro dan kontra menghidupkan GBHN tersebut juga menghadirkan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Prof.Dr.Widodo Ekatjahjana, Guru besar HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR Ahmad Basarah, dan anggota DPR/Anggota Badan Pengkajian MPR RI Arief Wibowo. (Antara)