Setelah menetapkan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjanji akan terus mengusut kasus tersebut. KPK menegaskan tak akan takut untuk memanggil pihak-pihak yang terkait dengan kasus tersebut, termasuk Mantan Mendagri Gamawan Fauzi.
"Ada kemungkinan-kemungkinan pemanggilan beberapa pejabat yang ada hubungannya ya, bisa siapa saja yang ada di dalam hasil penyidikan para tim penyidik. Termasuk mantan Mendagri, bisa saja siapa saja," kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan di Tugu Kunztring Paleiz, jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2016).
Kata Basaria, saat ini Penyidik KPK masih terus mengembangkan kasus tersebut. Apalagi KPK baru saja menetapkan Irman sebagai tersangka yang baru dalam kasus tersebut.
"Masih jalan terus, tersangka diumumkan kemarin masih dalam pengembangan," kata Basaria.
Diketahui, pada Jumat (30/9/2016) lalu, KPK resmi menetapkan Irman sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP tahun 2011-2012. Irman diduga melakukan korupsi bersama-sama dengan Pejabat Pembuat Komitmen proyek e-KTP 2011-2012, Sugiharto. Proyek itu menelan biayan Rp6 triliun dan ditengarai merugikan keuangan negara sebesar Rp2 triliun akibat perbuatan Sugiharto dan Irman.
"IR bersama tersangka S, diduga bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang terkait pengadaan e-KTP yang nilai total proyeknya Rp6 triliun," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK, Yuyuk Andriarti Iskak.
Atas perbuatannya, Irman dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
KPK telah mendalami kasus dugaan korupsi proyek e-KTP Tahun 2011-2012 pada tingkat penyidikan hingga dua tahun lebih. Sebelumnya, pada kasus ini KPK baru menetapkan satu tersangka, yakni Sugiharto.
Sugiharto, yang ketika itu menjabat Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri itu dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sugiharto juga berperan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam sengkarut proyek senilai Rp6 triliun itu. Dia diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp2 triliun.
Adapun berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan pada semester I tahun 2012 silam, ditemukan adanya pelanggaran dalam pelaksanaan tender proyek e-KTP, yakni melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pelanggaran tersebut telah berimbas buruk kepada penghematan keuangan negara.
Dalam auditnya, BPK juga menyimpulkan bahwa konsorsium rekanan yang ditunjuk, yakni Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian e-KTP tahun 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak. Hal tersebut terjadi karena PNRI tidak pernah berupaya memenuhi jumlah penerbitan e-KTP tahun 2011 sesuai kontrak yang disepakati.
Dalam audit BPK disebutkan juga terdapat 'kongkalikong' yang dilakukan antara PT PNRI dengan Panitia Pengadaan. Persekongkolan itu terjadi saat proses pelelangan, yakni ketika penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).