Suara.com - Setelah 71 tahun merdeka, pegawai negeri sipil (PNS) telah banyak mengalami ujian dan dinamika politik. Pada masa Orde Lama, demokrasi parlementer berujung pada peristiwa G-30S (Gerakan 30 September)/PKI. Kemudian pada Orde Baru dengan demokrasi terpimpin dan Orde Reformasi dengan demokrasi multipartai.
Ketua Umum DPN Korpri, Zudan Arif Fakrulloh, menyatakan, Korpri harus dapat memetik pelajaran dari masa lalu dalam hal netralitas aparatur sipil negara (ASN).
"Anggota Korpri jangan sampai terjebak konflik kepentingan yang bertebaran, sehingga tidak profesional lagi," katanya, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Peristiwa tersebut masih banyak menimbulkan kenangan pahit, dan banyak memunculkan pertanyaan ketimbang jawabannya.
Terlepas dari motif dan tujuan G-30S/PKI sebagai bagian dari sejarah kelam bangsa Indonesia, Korpri menyikapi peristiwa tragis itu sebagai batu ujian PNS sebagai aparat negara. Sungguh mahal taruhannya, jika aparatur negara berpihak dalam percaturan politik.
Tengoklah sejarah, berapa banyak pegawai negeri yang ikut terbawa-bawa peristiwa G-30S/PKI ini.
Mereka menjadi bulan-bulanan, lantaran dianggap sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ada yang terbunuh dan meringkuk dalam sel tahanan. Bahkan keluarganya ikut terseret stigma negatif gerakan tersebut.
PNS pun menjadi terkotak-kotak dan terbelah, tidak tegak dalam satu garis komando berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI. Dalam kaitannya dengan Pilkada serentak 2017, Zudan minta anggotanya tidak mendukung salah satu calon.
"Jangan takut dipecat, karena memberhentikan PNS tidak bisa sembarangan dan diatur dalam UU. Bahkan kalau perlu, semua ASN setempat mundur dari jabatan atau mogok kerja sebagai bentuk solidaritas," tegasnya.
Korpri Harus Hayati Panca Prasetya
Sementara itu, Dirjen Dukcapil Kemendagri ini menekankan, ASN harus kompak dan menjalin kebersamaan sebagai perekat persatuan bangsa. Anggota Korpri harus menghayati Panca Prasetya Korpri, untuk menjaga kesetiakawanan sebagai sesama anggota korpri.
Zudan mengibaratkan Korpri sebagai mesin penggerak pembangunan. Tanpa ASN, aktivitas negara bisa berhenti dan lumpuh.
Bisa dibayangkan akibatnya jika di suatu daerah, gubernur petahana maju kembali mencalonkan diri dan di saat bersamaan, sekretaris daerah setempat juga ikut maju mencalonkan diri. Aktivitas pemerintah daerah bisa terganggu.
"Visi dan misi pemerintahan tidak tercapai, ASN menjadi terkotak-kotak dan tidak fokus menjalankan tugas melayani masyarakat," katanya.
Soal jabatan dan proses meritokrasi, Zudan menegaskan, para ASN yang profesional tidak perlu was-was. Karier bukan tergantung oleh atasan, tetapi sesuai dengan tingkat kompetensi, kualifikasi dan kinerja yang tinggi.
"Saya minta kepada seluruh anggota Korpri untuk kembali menghayati dan melakukan reaktualisasi Panca Prasetya Korpri, yang diwujudkan melalui kerja-kerja profesional yang penuh inovasi, integritas dan semangat pantang menyerah," kata Zudan.
Dalam konteks ini, menurutnya, profesionalitas dan netralitas seperti mata uang dengan dua sisi. Fokus bekerja profesional adalah pada pencapaian kinerja yang sudah dituangkan dalam program daerah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD.)
Netral berarti tidak masuk dalam percaturan politik untuk mendukung pasangan calon dalam kampanye atau kegiatan pasangan calon. Dukungan anggota Korpri kepada pasangan calon cukup diberikan saat di bilik suara, tidak lebih.
"Untuk menjaga agar karier dan kehidupan anggota Korpri terjaga secara paripurna, saya instruksikan agar seluruh anggota menghayati dan mereaktualisasikan Panca Prasetya Korpri dalam setiap gerak langkahnya," kata Zudan.