Suara.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengatakan akan mempelajari pernyataan Muhammad Nazaruddin terkait dugaan keterlibatan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam kasus proyek pengadaan e-KTP. Pasalnya, menurut dia, mantan bendahara Partai Demokrat itu terlibat dalam kasus yang sudah menjerat Sugiharto.
"Jadi nanti saya akan coba mengumpulkan informasi terkait ini. Dipelajari dululah," kata Agus di Puri Imperium Office Plaza, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (28/9/2016).
Agus menambahkan perlu mendapat laporan dulu dari penyidik. Karena itu, dia belum bisa memastikan langkah apa yang akan diambil dalam pengembangan kasus.
"Saya perlu mendapat laporan dulu ya, jadi saya belum tahu, biar penyidik lapor dulu. Coba nanti saya teliti dulu. Saya belum tau secara detail karena yang paling tahu kan penyidik," katanya.
Karena belum bisa memastikan, dia belum memberikan sinyal untuk memanggil Gamawan. Tapi kalau memang diperlukan, terbuka kemungkinan Gamawan dipanggil untuk diperiksa.
"Belum tahu. Kita pelajari dulu," kata Agus.
Kemarin, Nazaruddin diperiksa KPK dalam kasus ini. Kelar diperiksa, Nazaruddin kembali "bernyanyi" terkait kasus e-KTP.
"Sekarang yang pasti e-KTP sudah ditangani oleh KPK. Kita harus percaya dengan KPK. Yang pasti Mendagrinya waktu itu (Gamawan Fauzi) harus tersangka," kata Nazaruddin.
KPK telah mendalami kasus e-KTP pada tingkat penyidikan hingga dua tahun lebih lamanya. Pada kasus ini, KPK baru menetapkan satu tersangka yakni Sugiharto.
Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri itu dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sugiharto juga berperan sebagai pejabat pembuat komitmen dalam sengkarut proyek senilai Rp6 triliun itu. Dia diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp2 triliun.
Adapun berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan pada semester I tahun 2012 silam, ditemukan adanya pelanggaran dalam pelaksanaan tender e-KTP, yakni melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pelanggaran tersebut telah berimbas kepada penghematan keuangan negara.
Dalam auditnya, BPK menemukan ketidakefektifan pemakaian anggaran dalam proyek ini sebanyak 16 item dengan nilai Rp6,03 miliar, dan tiga item senilai Rp605,84 juta. Kemudian terdapat lima item yang diindikasikan merugikan keuangan negara senilai Rp36,41 miliar, dan potensi kerugian negara sebanyak tiga item senilai Rp28,90 miliar.
Selain itu, BPK juga menemukan pelanggaran dalam proses pengadaan proyek e-KTP. Dari hasil audit BPK juga disimpulkan bahwa konsorsium rekanan yang ditunjuk, yakni Percetakan Negara Republik Indonesia, tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian e-KTP Tahun 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak. Hal tersebut terjadi karena PNRI tidak berupaya memenuhi jumlah penerbitan e-KTP Tahun 2011 sesuai kontrak.
Dalam audit BPK disebutkan juga terdapat 'kongkalikong' yang dilakukan antara PT. PNRI dengan Panitia Pengadaan. Persekongkolan itu terjadi saat proses pelelangan, yakni ketika penetapan Harga Perkiraan Sendiri.