Suara.com - Kasus yang bergulir Desember tahun lalu ini berawal dari laporan Sudirman Said (ketika itu Menteri ESDM) tentang rekaman perbincangan Setya Novanto (ketika itu ketua DPR), Direktur PT. Freeport Indonesia Ma'ruf Syamsudin (ketika itu) dan pengusaha Riza Chalid yang membicarakan perpanjangan kontrak Freeport Indonesia.
"Sesuai dengan Mahkamah Konstitusi bahwa bukti rekaman yang menjadi dasar itu tidak bisa dijadikan alat bukti. Rekaman itu tidak sah dan tidak mengikat," kata Wakil Ketua MKD Syarifuddin Sudding dihubungi, Rabu (28/9/2016).
Surat pengajuan pemulihan nama baik ini dilayangkan Novanto pada awal September. Novanto meminta pemulihan nama baik karena gugatannya ke MK menang.
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Setya terkait UU nomor 11/2008 tentang ITE tentang perubahan atas UU nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam putusan MK ini, disebutkan rekaman tidak menjadi alat bukti karena tidak direkam oleh penegak hukum.
Berikut bunyi surat keputusan MKD DPR RI :
Bersama ini kami beritahukan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan telah melaksanakan Sidang pada tanggal 27 September 2016 terhadap Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan atas nama Yth. Drs. Setya Novanto, Ak (A-300/F-PG), yang diajukan secara tertulis pada tanggal 19 September 2016. Keputusan sidang MKD adalah sebagai berikut :
1. Mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali Sdr. Drs. Setya Novanto, Ak terhadap proses Persidangan atas Perkara Pengaduan Sdr. Sudirman Said.
2. Menyatakan bahwa proses persidangan perkara tidak memenuhi syarat hukum untuk memberikan Putusan Etik karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal7 September 2016 bahwa alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses persidangan MKD adalah tidak sah.
3. Memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Saudara Setya Novanto dan pihak-pihak lain yang terkait dalam Proses Persidangan MKD.
Surat keputusan tersebut ditandatangani oleh Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad dan ditujukan kepada pimpinan DPR.