Puisi Bisa Menyelamatkan Dunia Arab

Liberty Jemadu Suara.Com
Senin, 26 September 2016 | 05:32 WIB
Puisi Bisa Menyelamatkan Dunia Arab
Penyair Suriah, Adonis atau Ali Ahmad Said Esber berfoto di Paris, Prancis pada Maret 2015 lalu (AFP/Patrick Kovarik).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penyair termasyur Suriah, Adonis - yang namanya sering disebut sebagai salah satu kandidat peraih Nobel Sastra - mengatakan bahwa fanatisme agama "sedang menghancurkan jantung dunia Arab". Tetapi ia mengatakan bahwa puisi bisa menjadi juru selamat bagi Tanah Airnya itu.

Adonis, lelaki berusia 86 tahun yang hidup di pengasingan, juga mengatakan bahwa Barat punya andil besar dalam kehancuran Suriah dalam konflik lima tahun yang sudah menelan lebih dari 300.000 korban jiwa itu.

"Orang-orang Amerika tidak mencari solusi, mereka mencari masalah," kata Adonis dalam wawancara dengan AFP di arena Gothenburg Book Fair di Swedia, pekan ini.

"Orang Amerika tak punya sebuah visi yang koheren. Demikian juga orang-orang Rusia, yang hanya didorong oleh kepentingan pribadi. Dunia Arab sangat strategis, wilayah yang kaya, dan orang-orang Arab hanya menjadi alat," kata dia.

Adonis, seorang muslim Syiah Alawi seperti Presiden Bashar al-Assad, termasuk dalam kelompok yang mendesak adanya transisi demokratis di Suriah pada 2011.

Kini, setelah perang berdarah menghancurkan negerinya, ia hanya percaya pada puisi.

"Puisi tak bisa menggorok leher anak-anak, tak bisa membunuh orang atau menghancurkan museum," kata Adonis yang nama aslinya Ali Ahmad Said Esber.

Ia mengatakan puisi tak bisa dikekang.

"Selama ada kematian - dan kematian memang ada - akan selalu puisi. Puisi tak bisa dibungkam," imbuh Adonis.

Adonis, yang juga dikenal sebagai kritikus, pelukis, dan penulis esai, pindah ke Paris pada 1985. Ia sering difavoritkan sebagai pemenang Nobel Sastra, termasuk pada 2011 ketika pecah Revolusi Musim Semi Arab. Sayang ia belum pernah mendapatkan anugerah tertinggi dalam dunia sastra itu.

Lahir dalam keluarga petani di sebuah desa miskin di barat Suriah, Adonis tak pernah menempuh pendidikan formal pada masa kecilnya.

"Saya tak pernah melihat mobil, listrik, atau telepon hingga berusia 13 tahun. Saya selalu bertanya pada diri saya sendiri, bagaimana saya bisa bertransformasi menjadi pribadi lain seperti saat ini. Seperti mujizat saja," kata dia dalam sebuah wawancara beberapa tahun silam.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI