Kemenko Perekonomian Mau Dunia Bantu Cegah Terjadinya Karhutla

Adhitya Himawan Suara.Com
Sabtu, 24 September 2016 | 03:36 WIB
Kemenko Perekonomian Mau Dunia Bantu Cegah Terjadinya Karhutla
Asap kebakaran hutan yang masih terjadi di Riau, Selasa (30/8/2016). [Dok BNPB]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) perlu keterlibatan langsung sejumlah instansi, mulai dari kementerian/lembaga di tingkat pusat, pemerintah daerah, hingga perusahaan-perusahaan perkebunan dan warga desa sekitar hutan, khususnya yang berada di 8 (delapan) provinsi rawan kebakaran. Ke-8 provinsi itu adalah Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimatan Utara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

“Rapat kabinet beberapa waktu lalu memutuskan agar kita melakukan perubahan dalam soal cara memandang dan menangani kebakaran hutan dan lahan. Kita diuntungkan tahun ini karena ada kemarau basah, sehingga kita bisa menyiapkan konsep pencegahan dengan tenang. Ini momentum yang tak akan terulang,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat memimpin rapat koordinasi tentang Kebakaran Hutan dan Lahan, Kamis (22/9/2016), di Jakarta. Hadir dalam rakor Menkopolhukam Wiranto, perwakilan TNI/Polri, perwakilan Kementerian LHK, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Deputi Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kemenko Perekonomian Monty Giriana.

Dalam paparannya, Monty Giriana menyebut karhutla selalu terjadi di lokasi yang sama (8 provinsi) meliputi wilayah yang luas. Pada 2015, areal kebakaran mencapai 3,1 juta hektar, meliputi lahan gambut, perkebunan sawit, dan hutan non-gambut. “Hot spot selalu terindikasi di sejumlah desa yang sama. Pada 2015 teridentifikasi sebanyak 21,930 (NOAA) dan 48,730 (Terra Modis) di 731 desa,” kata Monty.

Menurut Monty, dibandingkan dengan pemadaman, beaya yang diperlukan untuk pencegahan karhutla lebih rendah karena umumnya digunakan untuk pembeayaan patroli, deteksi dini, manajemen hot spot dan fire spot, serta pemadaman dini. Perbandingan besaran beaya pencegahan dengan pemadaman sekitar 1 : 25. “Makin tinggi standar deteksi dan respon yang diberikan, makin besar beaya pencegahan meskipun tak sebesar beaya pemadaman,” lanjutnya.`

Pengorganisasian pencegahan karhutla, karena menerapkan pendekatan yang berbeda dengan pemadaman, membutuhkan kelembagaan baru yaitu Crisis Center, yang pembeayaanya bisa dicari dari luar anggaran negara. Misalnya dari negara-negara yang lebih kaya dari Indonesia, selain dari industri perkebunan. “Nanti kita bilang, bantu kita untuk membantu dunia. Karena kalau kita berhasil mencegah kebakaran, dunia internasional juga akan mendapatkan benefit,” kata Darmin sembari menyebut Indonesia tahun ini mendapat apresiasi dari dunia internasional karena berhasil mengurangi terjadinya karhutla, meskipun sebagian karena didukung adanya cuaca kemarau basah.

Peranan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) amat diperlukan dalam menjalankan fungsi crisis center pemadaman dini kebakaran hutan dan lahan. “Terutama pada tahun-tahun pertama,” ujar Darmin. Untuk itu perlu disusun standar yang nantinya harus dipatuhi dan bahkan bisa menjadi basis bagi Pemda menyusun dan menggunakan anggaran (APBD) untuk pencegahan kebakaran.

Pernyataan serupa datang dari Menko Polhukam Wiranto. “Memang kita harus serius, termasuk membentuk organisasi semi permanen yang mengelola standar ini, mempersiapkan penanganan sebelum Karhutla itu terjadi dan tanggap menanganinya. Kebakaran hutan dan lahan ini sudah menjadi ancaman bagi negara kita,” ujarnya.

Di akhir rapat, Darmin menyatakan akan melanjutkan koordinasi dengan mengundang Menko Polhukam, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri. Standar yang disiapkan dan hasil rapat tersebut kemudian akan dipresentasikan kepada Presiden RI.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI