Suara.com - Mayat Eric Sison (22) dibiarkan terbaring dalam peti di kawasan kumuh Manila bersama seekor ayam, yang ditempatkan untuk secara simbolik mematuk kesadaran pembunuhnya. Di samping peti mati itu terdapat poster bertuliskan "Keadilan untuk Eric Quintinita Sison" dan tulisan tangan "Pembunuhan Besar-Besaran - Keadilan untuk Eric".
Sison, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi di ibukota Filiina itu tewas bulan lalu oleh tembakan polisi yang memburu pengedar obat terlarang di pemukiman Pasay, Manila.
Dalam video rekaman penembakan Sison, yang beredar di media sosial, terdengar suara "Jangan lakukan, saya akan menyerah!". Yang terjadi kemudian adalah suara tembakan. Video ini mampu membangun aksi solidaritas.
Gerakan untuk Sison itu adalah protes langka di tengah lonjakan 'pembunuhan' terhadap warga Filipina dalam kebijakan keras terhadap pengedar dan pengguna narkotika sejak Rodrigo Duterte menjadi presiden dua bulan silam.
Selama ini hampir tak ada yang menentang kebijakan itu. Padahal ribuan orang mati akibat kebijakan ini. Pekan lalu, total jumlah orang yang tewas sejak 1 Juli telah mencapai 2.400 orang: sekitar 900 di antaranya tewas dalam operasi kepolisian.
Sisanya adalah "kematian saat pemeriksaan", demikian para pegiat hak asasi manusia menggambarkan pembunuhan di luar hukum itu.
Reuters memberitakan bahwa lembaga penyelidik internal kepolisian Filipina (IAS) dan Komisi Hak Asasi Manusia (CHR) tak bisa langi menangani semua peristiwa pembunuhan tersebut. Mereka hanya menyelidiki sebagian kecil di antaranya untuk menemukan adanya pelanggaran hukum oleh polisi. Selain itu, saksi pembunuhan juga takut untuk bersuara.
Di sisi lain, ketenaran Duterte -yang masih tinggi- dan ketakutan akan kebijakan kerasnya membungkam suara kritis warga. Sangat sedikit orang yang datang menyalakan lilin duka untuk memprotes pembunuhan ekstra-judisial ini.
Praktis hanya Senator Leila de Lima yang melawan.
"Hanya presiden yang bisa menghentikan ini," kata de Lima kepada Reuters pada pekan lalu.
Namun Duterte bergeming dan balik menyerang de Lima. Ia menuding tokoh perempuan tersebut juga terlibat dalam pengedaran narkoba dan selingkuh dengan sopir pribadinya.
Sementara itu, kritik dari PBB dan Amerika Serikat juga ditanggapi dengan umpatan kotor.
Duterte menolak bertemu dengan Sekjen PBB Ban Ki Moon dalam pertemuan puncak negara-negara Asia Tenggara pekan ini.
Kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dia menegaskan akan menampik nasihat dari seseorang yang membiarkan "orang kulit hitam ditembak bahkan saat sudah menyerah."
Kebijakan Duterte mungkin akan semakin memperkeras kebijakannya menyusul serangan bom oleh kelompok Abu Sayyaf di Davao yang menewaskan 14 orang. Duterte kemudian menyatakan keadaan darurat nasional dan mengizinkan tentara untuk membantu kepolisian berpatroli dan berjaga di sejumlah titik di kota kelahirannya itu.
Sejumlah aktivis mengaku telah mendokumentasikan ratusan pembunuhan mencurigakan oleh sekelompok penjagal di Davao saat Duterte menjadi wali kota. Duterte membantah telah menginstruksikan pembunuhan tersebut namun tidak mengecamnya. Selain itu, para penjagal juga bergerak dengan pembiaran.
Cara tersebut kini diterapkan di tingkat nasional dengan sangat cepat. Di banyak daerah, daftar pengedar narkotika diserahkan kepada polisi oleh masyarakat setempat sehingga memunculkan ketakutan dan ketidak-percayaan di antara sesama masyarakat.
Kepala IAS, Leo Angelo Leuterio, mengatakan bertanggung jawab untuk menyelidiki semua penembakan yang melibatkan kepolsiain. Namun dengan personil yang hanya 170 orang, IAS hanya bisa menangani 30 persen dari sekitar 30 kasus yang muncul setiap hari.
Kepala IAS seharusnya berasal dari kalangan sipil untuk memastikan independensi. Namun Leuterio sendiri adalah polisi yang menghabiskan 13 tahun karirnya di tempat kelahiran Duterte, Davao.
Sementara itu, komisi HAM, CHR, hanya menangani 259 dari 2.000an 'pembunuhan' sejak 1 Juli. CHR mengaku tantangan utama mereka adalah kesulitan mencari saksi. Dan, untuk sementara Duterte belum akan terhenti. (Antara/Reuters)
'Teror' di Balik Perang Narkoba Presiden Rodrigo Duterte
Esti Utami Suara.Com
Senin, 05 September 2016 | 14:59 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Siapa Sara Duterte yang Disindir Mirip Gibran? Sejak Jadi Wali Kota Sudah Bermasalah
25 Februari 2024 | 11:06 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI