Suara.com - Kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu memang masih menjadi wacana. Namun Wakil Kepala Lembaga Demografis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan mengatakan bahwa harga rokok yang mahal bisa menekan konsumsi rokok yang pada gilirannya menghemat pengeluaran negara untuk membiayai beban penyakit tidak menular.
"Yang pasti penyakit terkait rokok itu tergolong penyakit mahal seperti stroke, jantung, kanker. BPJS saja sekarang sudah defisit 6 triliun dan akan terus membengkak," ujarnya pada peluncuran Iklan Layanan Masyarakat Rokok di Jakarta, Jumat (2/9/2016).
Program JKN, lanjut Abdillah, akan sangat terbebani dan bisa bangkrut jika tidak diiringi dengan upaya promotif dan preventif salah satunya mengampanyekan untuk berhenti merokok.
"Yang paling efektif dengan berhenti merokok, karena risiko terkena stroke, penyakit jantung dan kanker akan berkurang. Apalagi sekarang 50 persen populasi penduduk Indonesia tinggal di kota yang jarang aktivitas fisik, makan nggak sehat ditambah merokok sehingga usia 40 sudah kena kanker," imbuhnya.
Abdillah pun mengimbau agar pemerintah bisa melakukan berbagai upaya agar masyarakat bisa mengurangi konsumsi rokok dan menjaga kesehatan mereka. Pasalnya, masyarakat yang sehat dapat menghasilkan pendapatan lebih bagi negara dan memajukan ekonomi Indonesia.
"Tidak ada gunanya ekonomi tinggi kalau jumlah penyakit naik. Dengan kita mengendalikan konsumsi rokok maka masyarakat akan sehat dan akan jauh lebih bermanfaat bagi ekonomi negara," pungkasnya.