Suara.com - Ketua Bidang Advokasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Habiburokhman ikut menyaksikan sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait kewajiban cuti kampanye bagi calon petahana yang diajukan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok memohon kepada MK agar menafsirkan kembali Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada agar calon petahana tidak wajib cuti kampanye.
Usai persidangan, Habiburokhman mempunyai beberapa catatan tentang jalannya persidangan dengan agenda perbaikan berkas permohonan yang disampaikan Ahok.
"Ya ada tiga, salah kutip yurisprudensi, salah baca data, salah kutip undang-undang," ujar Habiburokhman di gedung MK, Jalan Medan merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016).
Yurisprudensi merupakan keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaikan suatu perkara yang sama.
Menurut Habiburokhman memang dalam memperbaiki gugatan, Ahok meniru pola gugatan mantan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP pada tahun 2008, namun ada kelemahannya.
"Yurisprudensi saya paham banget perkara 17 itu Pak Sjachroedin tidak sama seperti yang dia sampaikan sebagai WNI yang menjabat sebagai gubernur itu tidak. Harus dibedakan antara identitas dan kapasitas," katanya.
"Identitas adalah WNI yang jabatan adalah gubernur. Tapi kapasitasnya tetap sebagai gubernur itu Pak Sjachroedin ZP," Habiburokhman menambahkan.
Selain itu, Habiburokhman juga mempertanyakan alasan Ahok menyebut apabila calon petahana mengajukan cuti pada saat kampanye di pilkada Jakarta tahun 2017 akan menghabiskan waktu selama empat sampai enam bulan cuti.
"Salah baca data, dia bilang rugi enam bulan kalau dua putaran itu nggak bener karena cuma 119 hari kalau toh itu 2 putaran. Yang di 4 bulan di putaran pertama, di putaran kedua cuma 10 hari saja masa kampanye," katanya.
Habiburokhman juga mempersoalkan kerugian yang dialami Ahok bila cuti untuk kampanye. Misalnya, saat masa cuti, pemerintah sedang menjalankan banyak program prioritas pembangunan.
"Ya saya kira udah terlalu jauh sekali, terlalu jauh tidak memperkuat argumentasinya," kata dia.