Pada Juni 2015 Payan Siahaan dan Yati Ruyati mendatangi Mahkamah Konstitusi di Jakarta dengan maksud untuk meminta keadilan untuk anak-anak mereka yang dinyatakan hilang atau dihilangkan pada peristiwa Mei 1998.
Mereka menuntut pemerintah untuk bertindak dan memberikan keadilan bagi mereka yang tersakiti dan teraniaya pada peristiwa tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyatakan kasus-kasus yang menimpa korban dan keluarganya dalam peristiwa Mei 1998 merupakan pelanggaran HAM berat.
Kendati demikian penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia ini belum juga menemukan titik terang, karena semua berkas yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung bertahun-tahun yang lalu belum juga ditindaklanjuti.
Inilah yang kemudian menjadi latar belakang Payan dan Yati mengajukan uji materi Undang Undang Pengadilan HAM ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya tersebut, Payan dan Yati menyatakan bahwa Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang dinyatakan konstitusional bersyarat.
Kemudian berikutnya, Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM harus ditafsirkan sebagai ketentuan yang memiliki pengertian sebagaimana bunyi pasalnya.
Adapun bunyi dalam pasal tersebut adalah "dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai dengan petunjuk yang jelas sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya tanggal hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut." Dalam sidang pendahuluan pada Juni 2015, Chrisbiantoro selaku kuasa hukum Payan dan Yati menyebutkan telah terjadi pelanggaran atas ketentuan Undang Undang Dasar 1945 akibat adanya bolak balik berkas antara Kejaksaan Agung yang menyangkut tujuh berkas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu kasus Trisakti Semanggi, Tragedi Mei 1998, Penghilangan Aktivis 1997-1998, Wasior-Wamena, Trisakti Semanggi, Talang Sari Lampung 1989, Peristiwa 1965-1966, dan kasus penembakan misterius.
Kasus ini kemudian dianggap telah ditelantarkan sehingga para pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar, khususnya terkait dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang kepastian hukum untuk setiap Warga Negara Indonesia.
Ditolak MK Setelah mendengarkan keterangan ahli, keterangan Pemerintah, dan DPR, Mahkamah kemudian mengeluarkan putusan terkait dengan permohonan uji materi UU Pengadilan HAM ini.
Namun putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan uji materi Pasal 20 UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap UUD 1945.
"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (23/8).
Mahkamah menilai permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum karena menurut Mahkamah Konstitusi permohonan para pemohon sudah tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.
"Apa yang dialami para pemohon bukanlah bersumber pada inkonstitusionalnya Pasal 20 ayat (3) maupun penjelasannya melainkan, di satu pihak, pada penerapan norma dalam praktik dan kurang lengkapnya pengaturan dalam Pasal 20 ayat (3) UU 26 Tahun 2000," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Meskipun Mahkamah menolak seluruh permohonan Payan dan Yati selaku pemohon, Mahkamah meminta supaya Dewan Perwakilan Rakyat selaku pembentuk Undang Undang untuk melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
"Demi memberikan kepastian kepada setiap orang, Mahkamah memandang penting untuk memberikan catatan bahwa kepada pembentuk Undang Undang disarankan melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU 26 Tahun 2000," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna ketika membacakan pertimbangan Mahkamah.
Hal itu dikatakan Palguna ketika membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah atas permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945.
Pemohon dari uji materi ini dinilai Mahkamah mengalami ketidakpastian yang disebabkan oleh masalah yang timbul dalam penerapan Pasal 20 ayat (3) maupun Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU 26/2000, khususnya perbedaan pendapat antara penyelidik (Komnas HAM) dan penyidik (Jaksa Agung) Mahkamah menyebutkan Pasal 20 UU 26 tahun 2000 perlu dilengkapi untuk memberikan jalan keluar atas tiga persoalan penting terkait kasus Hak Asasi Manusia.
"Harus ada penyelesaian atau jalan keluar dalam hal terjadi perbedaan pendapat yang berlarut-larut antara penyelidik (Komnas HAM) dan penyidik (Jaksa Agung) mengenai dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya kelengkapan hasil penyelidikan," ujar Palguna.
Yang kedua adalah penyelesaian atau jalan keluar apabila tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) UU 26/2000 terlampaui dan penyelidik (Komnas HAM) tidak mampu melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya.
Selanjutnya adalah perlunya langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara yang merasa dirugikan oleh pengaturan pada dua hal sebelumnya.
Palguna juga mengatakan dengan adanya ketegasan pengaturan yang demikian maka pada masa yang akan datang tidak ada warga negara yang mengalami ketidakpastian hukum sebagaimana yang dialami para Pemohon.
"Oleh karena itu, sesuai dengan semangat UUD 1945, maka seharusnya semua pihak mengutamakan bekerjanya supremasi hukum di atas pertimbangan lainnya, sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945," pungkas Palguna. (Antara)