Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui bahwa ada keterkaitan antara kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam dengan kasus dugaan tindak pidana pencucian uangnya yang ditangani Kejaksaan Agung. Oleh karena itu, KPK siap berkoordinasi dengan Kejagung untuk mengusut hal tersebut.
"Ada benang merah dengan kasus yang diperiksa Kejagung dan KPK tentu akan koordinasi dengan Kejagung," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif saat dikonfirmasi, Rabu (23/8/2016).
Untuk diketahui, pada Tahun 2015 Kejagung mengusut kasus dugaan pencucian uang yang dilakukan Nur Alam. Dan hal itu, berdasarkan Laporan Hasil Analisa dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dari temuan PPATK, Nur Alam diindikasikan menjadi satu dari 10 kepala daerah yang memiliki rekening gendut.
Dari hasil penyelidikan Kejagung, ditemukan fakta kalau Nur Alam menerima sejumlah aliran uang dalam jumlah yang fantastis. Jumlah uang yang ada di rekening Nur Alam mencapai 4,5 juta Dolar AS. Uang itu diduga ditransfer dari pengusaha tambang asal Taiwan untuk mengamankan wilayah konsensi tambangnya di wilayah Sultra. Diketahui, Nur Alam menerima 4,5 juta Dolar AS tersebut dari empat kali transfer dalam bentuk polis asuransi bank di Hong Kong.
Namun, Kejagung telah menghentikan penyelidikan dugaan pencucian uang Nur Alam tersebut tanpa alasan jelas. Meski demikian, terkait dugaan pencucian uang oleh Nur Alam, KPK tak menutup kemungkinan akan melakukan penyelidikan hasil pengembangan dugaan korupsi yang sudah menjeratnya.
"Sedang dikaji apakah ada kemungkinan tindak pidana pencucian uang atau tidak. Tergantung bukti-bukti yang didapat. Bila ada dua alat bukti yang cukup maka ditingkatkan jadi tersangka. Sedangkan bukti-bukti lain yang berhubungan dengan pencucian uang itu juga akan dipelajar," kata Syarif.
Sebagai informasi, KPK menetapkan Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan surat keputusan terkait izin usaha pertambangan kepada PT .Anugrah Harisma Barakah dari Tahun 2009-2014. Diduga, Gubernur Sultra 2008-2013 dan 2013-2018 itu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku.
Nur Alam selaku Gubernur Sultra mengeluarkan tiga SK kepada PT AHB. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi.
PT AHB diketahui merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Perusahaan tersebut melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco.
Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.