Suara.com - Sorot mata Marnah (73) dan suaminya, Umar (85), sayu. Warga RT 10, RW 12, Bukit Duri, Jakarta Selatan itu, pasrah, menerima kebijakan relokasi ke rumah susun Rawa Bebek, Jakarta Timur, Minggu (21/8/2016).
Hari ini, barang-barang milik nenek dan kakek itu bersama 59 warga diangkut menggunakan truk oleh aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke rusun. Mereka dipindah karena selama ini menempat daerah tepi kali Ciliwung.
Marnah punya sembilan anak, sembilan cucu, dan sepuluh cicit. Tapi sekarang, anaknya tinggal dua orang, tujuh lainnya telah dipanggil yang kuasa.
Anak perempuan Marnah bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tinggal di rumah majikan. Sedangkan anak lelakinya bekerja di tempat usaha pencucian mobil.
Marnah aslinya dari Garut, Jawa Barat. Kemudian dia hijrah ke Ibu Kota. Dia lupa persisnya mulai tanggal berapa. Seingatnya, sudah menetap di Bukit Duri selama puluhan tahun.
"Kami tinggal di sini sejak tahun 1951, sejak saya dan aki-aki (suaminya) masih muda," kata dia kepada Suara.com.
Tadi, dia terlihat murung. Dia melihat rumahnya akan segera ditinggal pergi. Rumah kecil itulah yang selama puluhan tahun jadi saksi susah senang menjalani hidup bersama suami dan anak.
Rumahnya terbuat dari kayu. Ukurannya sekitar 2 X 2,5 meter persegi. Satu ruang di bagian bawah diperuntukkan untuk berbagai kegiatan, sedangkan lantai atas buat tidur.
"Dapur dan tempat tidur di bawah ini, di atas tempat tidur cucu saya. Anak saya kalau pulang dari rumah majikannya tidurnya juga di sini," ujar dia.
Belakang rumah Marnah langsung bantaran kali Ciliwung.
Tak banyak barang perabotan di dalam rumah nenek Marnah. Dia hanya memiliki sebuah rak piring, sebuah lemari kayu, dan sebuah kompor berbahan bakar minyak tanah. Dia tidak mau memakai kompor gas elpiji subsidi dari pemerintah karena takut meledak.
"Barang-barang perabotan rumah saya yang mau dibawa cuma ini saja," tutur dia.
Rusun Rawa Bebek kosong tak ada perlengkapan
Dia akan tinggal di salah satu kamar di unit rusun Rawa Bebek. Kamarnya terletak di lantai satu nomor 207.
Nenek dan kakek itu sudah melihat langsung kamar barunya. Masih kosong melompong.
"Saya sudah lihat rumah yang di Rusun itu, ada dua kamar, dapur, WC, tempat jemur. Tidak ada isinya, kosong. Saya dikasih tahu, katanya gratis tiga bulan, setelah itu menyewa. Tapi belum tahu berapa harga sewanya," kata dia.
Untuk menyambung hidup, selama ini nenek Marnah jualan kue. Dia tidak membuatnya sendiri, melainkan mengambil kue dari orang lain. Dia jualan dengan keliling kampung. Sementara, suaminya tidak bekerja lagi karena sudah terlalu tua.
"Saya bekerja dagang kue, ngambil dari orang-orang. Satu kue Rp1.500 modalnya, saya jual Rp2 ribu. Sehari bisa dapat bawa uang pulang Rp30 ribu, kadang-kadang kalau nggak habis kuenya paling dapat Rp25 ribu," ujar dia.
Tinggal di rusun memang bebas dari banjir dan lebih sehat. Tapi dari sisi ekonomi, sebenarnya nenek Marna galau.
Dia bingung akan usaha apalagi untuk menyambung hidup. Lingkungan di sini jauh berbeda dengan di Bukit Duri. Di Bukit Duri dia bisa jualan kue di lingkungan sekitar. Kalau di rusun, tentu menjadi sulit.
Belum lagi cara untuk mengambil kue yang sekarang jaraknya sangat jauh dari rusun. Ongkos lagi, ongkos lagi.
"Nanti belum tahu di sana mau ngapain, kalau ada yang kasih barang jualan, saya jualan. Lihat nanti apa saja," kata dia.