Tubuhnya kecil tak seperti perempuan usia duapuluhan pada umumnya. Guratan penderitaan terlihat pada wajahnya. Hidung dan bibirnya ada bekas luka, bahkan bentuk bibir terlihat tak lagi normal seperti ada yang terpotong. Mata kanannya juga terlihat tak normal, ada bulatan abu-abu ditengahnya.
“Buta karena katarak. Dicolok-colok terus disiram pakai air panas juga, kena air cabai juga,” tutur Sri Siti Marni , 21 tahun, yang biasa dipanggil Ani. Dia berasal dari Babakan Dua Sukamaju, Leuwiliang Bogor, Jawa Barat.
Dengan suara pelan ia menceritakan pengalamannya yang disiksa terus menerus oleh majikan dan anggota keluarganya selama 9 tahun bekerja di sana.
Waktu ia berumur 11 tahun ia diajak ke Jakarta oleh majikannya. Saat itu ia tidak mengerti mengapa di ajak ke Jakarta. Ia di janjikan akan diangkat menjadi anak dan disekolahkan di Jakarta oleh Musdalifah, majikannya seorang mantan penyanyi dangdut yang dulu populer dengan nama Meta Hasan.
Ternyata apa yang dijanjikan majikannya tak pernah diwujudkan. Ia malah dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga. Satu minggu kemudian ia meminta pulang karena teringat ia bolos sekolah dan pesantren. Ia tak diijinkan pulang.
Berapa bulan kemudian ia meminta pulang lagi, majikan lalu membawanya keluar rumah. Tapi bukan pulang ke kampung melainkan ia dibawa ke kantor polisi. Ia diancam dan ditakut-takuti. “Kalau kamu pulang kamu harus masuk penjara,” ia menuturkan ancaman majikan kepadanya.
Bocah desa yang lugu itupun ketakutan. Akhirnya dengan terpaksa mengikuti keinginan Musdalifah untuk tetap tinggal di rumahnya.
Setahun kemudian di tahun 2008 ia diajak pulang kampung oleh majikannya. Ia diancam oleh majikannya kalau sudah pulang keBogor harus balik ke Jakarta. Karena kalau tidak balik ke Jakarta ayahnya yang akan masuk penjara.
Dengan terpaksa ia memilih kembali ke Jakarta. “Dari pada ayah saya masuk penjara.” Begitu tuturnya.
Sejak saat itulah ia mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh majikan dan anggota keluarganya. Ia sering dituduh melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan. Ujung-ujungnya penyiksaan fisik terjadi. Ia pun terpaksa harus mengaku melakukan perbuatan yang tak dia kerjakan karena tak tahan siksaaan fisik. Walau begitu tetap saja ia terus disiksa.
Ani memperlihatkan bekas luka -luka di tangannya. “Bibir yang di sebelah sini ada sedikit keluar tuh dagingnya, ditarik dia sampai putus. Terus sampai berdarah-darah ngalir tanpa diobatin. Jadi sembuh sendiri.”
Ani pun diancam jangan mencoba melarikan diri karena akan dikeroyok warga sekitarnya. Ia terus bercerita bagaimana majikannya menyiksa dirinya “Di perut di punggung di kedua kaki disetrika. Terus disuruh makan kotoroan kucing. Sehingga saya kena penyakit TB,” tuturnya.
Kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan majikan dan anggota keluarganya sungguh di luar batas kemanusian, sehingga tak mungkin untuk ditulis di sini.
Pada akhirnya setelah sembilan tahun tanpa telpon selular dan akses telekomunikasi dengan orang di luar rumah ia berhasil melarikan diri. Ia memanjat lantai tiga rumah majikannya dan meluncur keluar menggunakan bantaun kabel antena televisi.
Dengan muka babak belur ia berlari-lari ke jalan ditonton banyak orang. Ia minta tolong orang yang ditemuinya di jalan tapi tak ada yang mau membantunya karena wajahnya yang babak belur. Sampai akhirnya seorang tukang ojek menunjukan kepadanya kantor polisi.
Kepada polisi dengan lugu ia mengaku menyerahkan diri. “Pak tolongin saya, saya mau nyerahin diri saya. Saya tak mau ke majikan saya lagi.” Di luar dugaan polisi malah membelanya. Akhirnya ia dipindahkan ke Polsek Matraman dan laporannya diproses di sana. Polisi pun mengrebek rumah majikannya.
Kasusnya pun berlanjut, majikannya diperiksa polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. Sampai sekarang kasusnya masih berlanjut di pengadilan Jakarta Timur. Sampai sekarang sudah menjalani enam kali persidangan.
Lita Anggraini dari Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) yang selama ini mendampingi Ani menginginkan para pelaku dihukum sebarat-beratnya. Walau baru-baru ini pengacara majikan yang menyiksa Ani mengajukan kepada hakim agar perkaranya dihentikan karena terdakwa sakit jiwa. Untungnya hakim menolak.
Anak yang menjadi pekerja rumah tangga sering kali menjadi korban penyiksaan fisik dan seksual. Alasannya sederhana saja, menurut Aida Milasari dari Jaringan penghapusan Pekerja Anak (JARAK), “Anak-anak tidak mengetahui apa yang terjadi. Karena mereka masih anak-anak tak bisa menolak dan tak tahu apa yang terjadi pada dirinya,” tandasnya.
Anak-anak tak tahu apa itu kekerasan seksual. Pelakunya biasanya di lingkup keluarga tempat mereka bekerja. Aida Milasari berharap RUU Pekerja Rumah Tangga memuat juga untuk melarang anak menjadi pekerja rumah tangga.
Sayangnya sampai hari ini RUU itu belum juga disetujui oleh DPR RI. Padahal ini sangat mendesak untuk perlindungan pekerja rumah tangga dan anak-anak yang banyak dipekerjakan. Melalui UU Pekerja Rumah Tangga negara bisa mencegah kisah sedih Ani-ani yang lain terulang kembali. (Feri Latief)