Suara.com - Pada Rabu (10/8/2016), warga Medan, Sumatra Utara, Dodi Sutanto, divonis satu tahun dua bulan penjara dan denda lima juta subsidair kurungan satu bulan oleh Pengadilan Negeri Medan.
Kasus ini berawal pada tahun 2005, Facebook Dodi mendapatkan tag berita dari salah media online di Medan yang memberitakan salah seorang pengusaha di Sumatera Utara diduga tersangkut perkara korupsi dan ditahan oleh KPK. Kemudian pada tanggal 3 November 2015 dengan sigap pengusaha melalui kuasa hukum melaporkan Dodi ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama melalui media elektronik sebagaimana Pasal 27 ayat 3 UU Informasi Teknologi Elektronika.
Setelah dilaporkan kepada kepolisian, penyidik langsung menyidik dan tidak lama kemudian menetapkan Dodi sebagai tersangka. Lalu, pada tanggal 11 Maret 2016, penyidik menahannya tanpa ada penetapan hakim terkait penahanan sesuai dengan Pasal 43 ayat 6 UU ITE yang mewajibkan penyidik untuk mempunyai penetapan pengadilan sebelum menahan seorang tersangka pencemaran nama baik melalui media elektronik.
Menurut LBH Pers proses itu cukup ganjil karena sampai saat ini redaktur dari berita yang menjadi pokok perkara sama sekali tidak disentuh oleh kepolisian, walaupun sebelumnya Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyatakan media tersebut adalah media abal-abal dan bukan dalam perlindungan Dewan Pers, oleh karena itu kepolisian berhak menyelidiki.
Menurut LBH Pers tanpa mempertimbangkan syarat-syarat formil dalam hukum acara yang khusus pada perkara elektronik sebagaimana dalam UU ITE, hakim Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis kepada Dodi. Bukan hanya Dodi, beberapa temannya yang men-share dan terkena tag pun saat ini telah menjadi tersangka, dan dugaan kuat akan bernasib sama bahkan lebih apabila kondisi ini tidak sepenuhnya kita kontrol bersama.
Terkait hal tersebut, LBH menyayangkan putusan pengadilan yang memvonis Dodi tanpa mempertimbangkan asas fair trial dalam peradilan.
LBH Pers meminta kepada Bareskrim Mabes Polri untuk memerintahkan Kapolda Sumatera Utara untuk menghentikan proses penyidikan sesuai dengan Surat Edaran Kapolri Nomor B/345/2005/Bareskrim tanggal 07 Maret 2005 yang mengimbau kepada semua kapolda untuk mendahulukan penyelidikan kasus korupsi ketimbang kasus pencemaran nama baik.
Dalam dugaan LBH Pers, kasus ini lebih kuat unsur politik ketimbang persoalan hukum sehingga sudah sepatutnya polisi menghentikan kasusnya dan pihak kepolisian membantu KPK dalam membongkar praktik korupsi di Sumatera Utara.
Dari sekian ratus kasus pencemaran nama baik melalui media elektronika sebagaimana Pasal 27 ayat 3 UU ITE, menurut LBH Pers, kasus ini adalah kasus yang cukup buruk dari kualitas putusannya.
Dan LBH Pers menilai hakim gagal memahami konteks pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Seharusnya hakim unsur materil dari kasus pencemaran nama baik.