Eksekusi Mati Jilid III Sisakan Segudang Pertanyaan

Ruben Setiawan Suara.Com
Minggu, 07 Agustus 2016 | 02:50 WIB
Eksekusi Mati Jilid III Sisakan Segudang Pertanyaan
Persiapan eksekusi hukuman mati di LP Nusakambangan, Jawa Tengah, Rabu (27/7/2016). [Antara/Idhad Zakaria]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nyawa empat terpidana mati kasus narkoba dicabut lewat peluru penembak personel Brimob di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (29/7) dini hari.

Keempat terpidana mati itu, Freddy Budiman (warga negara Indonesia), Michael Titus Igweh (Nigeria), Humprey Ejike (Nigeria), dan Gajetan Acena Seck Osmane (Senegal).

Langkah Kejaksaan Agung selaku eksekutor untuk jilid III ini tidak selancar eksekusi mati jilid II. Apa pasalnya? Semula kejaksaan menyebut 14 terpidana mati yang bakal dieksekusi namun pada kenyataannya hanya empat terpidana yang akhirnya dieksekusi.

Padahal ke-14 orang itu, sudah masuk ke ruang isolasi dan tinggal menunggu panggilan untuk menghadap para penembak. Namun tanpa diduga-duga, hanya empat orang yang dieksekusi. Tentunya menjadi pertanyaan bagi publik baik itu di dalam negeri maupun di dunia internasional, Kejagung begitu mudahnya membatalkan eksekusi terhadap 10 terpidana mati lainnya.

Tapi kisah ini tidak berhenti di sana saja, muncul kembali pernyataan Koordinator Kontras Haris Azhar lewat tulisannya melalui media sosial terkait pengakuan dari Freddy Budiman yang menyebut-nyebut nama institusi di Tanah Air, yakni, BNN, Polri dan TNI yang berujung Haris Azhar dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh institusi tersebut dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik (ITE).

Selanjutnya pengaduan ke Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM Was) dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) terkait perilaku Jaksa Agung HM Prasetyo yang dituding telah melanggar HAM karena mengeksekusi Humprey Ejike (Nigeria) dan Gajetan Acena Seck Osmane (Senegal), yang tengah mengajukan upaya grasi ke Presiden Joko Widodo.

Ditambah lagi, Kejaksaan Agung sampai sekarang belum terbuka kapan akan mengeksekusi 10 terpidana mati lainnya. Hal itu memunculkan dugaan eksekusi itu hanya upaya pencitraan saja atau menutupi kasus-kasus yang ada di tanah air.

Jaksa Agung HM Prasetyo pun menilai tulisan Koordinator Kontras Haris Azhar hasil wawancara dengan terpidana mati Freddy Budiman kesannya seperti bola liar.

Ia menganggap munculnya tulisan itu menjadi riak-riak kecil karena adanya informasi yang terlambat disampaikan kepada pihaknya.

Sebaliknya dirinya mempertanyakan kenapa pengakuan itu baru sekarang disampaikan, setelah eksekusi mati dilaksanakan.

"Tapi sejak awal saya ikuti perkembangan berita ini dan sejak awal juga saya mendukung sepenuhnya untuk kasus ini diungkapkan. Tapi tentunya saya harapkan yang memberikan informasi meskipun informasi itu katanya dari gembong narkoba Freddy Budiman, tentunya harus bisa menyampaikan bukti-buktinya supaya nantinya memudahkan untuk mengungkapkan kebenaran kasus ini," paparnya.

Terlebih lagi, kata dia, informasi itu didapatkan sejak 2014. "Kenapa baru disampaikan sekarang," ucapnya, mempertanyakan.

Oleh karena itu, sudah beredarnya tulisan itu, menjadi kewajiban moral bagi Koordinas Kontras tersebut untuk menyampaikan bukti-buktinya.

"Mestinya dikasih informasi oleh Freddy Budiman, disampaikan dong buktinya apa. Ada fotonya kah, ada kuitansinyakah, ada bukti transfernyakah. Sekarangkan kesannya seperti bola liar," tegasnya.

Ia juga menyebutkan pledoi atau surat pembelaan dari Freddy Budiman saat persidangan tingkat pertama, masih ada dan isinya tidak sesuai dengan apa yang ditulis oleh Haris Azhar.

Di bagian lain, Prasetyo juga menjelaskan nasib 10 terpidana yang semula masuk dalam eksekusi mati jilid III, akan ditentukan kemudian atau ditangguhkan karena perlu penelitian kembali.

"Penangguhan itu untuk harus diteliti, saya terima hasil keputusan penangguhan, perlu dilakukan. Nanti akan ditentukan kemudian," katanya.

Oleh karena itu, ia meminta semua pihak yang tidak setuju harap bisa memakluminya. Dikatakan, penangguhan itu juga karena memperhatikan masukan dan melakukan pertimbangan matang.

Sedangkan pertimbangan terhadap empat terpidana yang dieksekusi, dia menjelaskan karena tindak kejahatannya bersifat masif sembari memperhatikan pertimbangan dari sisi yuridis dan nonyuridis.

Menjelang eksekusi JAM Pidum melaporkan, empat orang itu setelah pembahasan dengan unsur-unsur daerah ternyata dari hasil kajiannya seperti itu.

Keempat terpidana mati itu memiliki peran yang penting di kalangan sindikat sebagai pemasok penyedia, pengedar, pembuat dan pengekspor narkoba.

Ia mengingatkan Indonesia sekarang ini bukan lagi sebagai tempat transit melainkan sebagai lahan usaha atau kegiatan mereka menjalankan praktik kejahatannya.

Kejahatan narkoba sudah merambah ke daerah-daerah tidak hanya di kota besar, bahkan korbannya sekolah di kampus bahkan dosen, serta masuk ke lingkungan rumah tangga.

Eksekusi mati itu bukan tindakan yang menyenangkan, tapi tidak lain untuk menyelamatkan generasi.

Kendati demikian, Prasetyo mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya terpidana mati kepada keluarga dan negara asalnya.

"Jaksa hanya bertugas melaksanakan keputusan pengadilan, perintah undang-undang. Kami melaksanakan sebaik-baiknya," ucapnya.

Jadi, kata dia, persoalan itu harus diperjelas. "Saya mendukung sepenuhnya untuk diungkapkan, tapi tentunya saya berharap yang memberikan informasi memberikan buktinya. Paling tidak informasi konkretlah. Si ini terima sekian, yang pangkat bintang sekian, sampaikan orangnya," tuturnya.

Kesulitan Jelaskan Penundaan Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Noor Rachmad mengaku kesulitan menjelaskan penundaan eksekusi jilid III terhadap 10 terpidana mati.

"Susah menjelaskan itu ya, masa tanya lagi saya," katanya.

Ia menegaskan tidak ada yang menyebutkan faktor tertundanya eksekusi 10 terpidana mati karena aspek nonyuridis.

"Tidak ada yang ngomong begitu (aspek nonyuridis), yang jelas banyak faktor yang dipertimbangkan. Sekali lagi, bukan tidak dieksekusi ya, penudaan ya," katanya.

Ia menjelaskan pelaksanaan eksekusi mati itu jika seseorang sudah dijatuhi pidana dan sudah berkekuatan hukum tetap, dan secara yuridis bahwa seluruh hak-hak hukumnya telah dimanfaatkan.

Tentunya, kata dia, sudah terpenuhinya unsur-unsur itu maka eksekusi mati bisa dilaksanakan.

Ia menyebutkan untuk 10 terpidana mati yang masuk daftar 'antrean' eksekusi itu, sudah ada yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebanyak dua kali dan beberapa ada yang sudah dua kali ditolak permohonan PK-nya.

Terkait dengan grasi, kata dia, sudah ada aturannya sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 2010, yakni, permohonan grasi ada batas waktunya yakni satu tahun setelah berkekuatan hukum tetap.

Jika para terpidana mati itu sudah melewati waktu satu tahun, dia tidak bisa ajukan grasi, katanya.

Tindakan Ilegal Pemohon dan pemegang putusan judicial review Undang-Undang (UU) Grasi, Boyamin Saiman, menilai pelaksanaan eksekusi mati terhadap Seck Osmane dan Humprey Ejike, oleh Kejaksaan Agung merupakan tindakan ilegal karena keduanya tengah mengajukan upaya grasi.

"Ini jelas pelanggaran hukum dan ilegal," katanya yang juga koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).

Jika mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 22 tahun 2002 Grasi menyebutkan, "Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana".

Dalam Pasal 3 UU Grasi juga menyebutkan "Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati".

"Fakta yang ditemukan oleh kami, Seck Osmane mengajukan grasi itu pada 27 Juli 2016 dan Humprey Ejike pada 25 Juli 2016. Bahkan permohonan grasi itu juga sudah masuk di Mahkamah Agung (MA)," tegasnya.

"Putusannya sendiri belum ada apakah permohonan grasinya diterima atau tidak diterima oleh presiden, tapi eksekusi mati telah dilaksanakan. Ini jelas-jelas sudah melanggar HAM yakni penghilangan nyawa seseorang secara paksa atau tanpa ada kepastian hukum," katanya.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII-XVI/2015 tertanggal 15 Juni 2016, maka bagi siapa pun terpidana mati dapat mengajukan grasi tanpa dibatasi waktu.

Ditegaskan pula dalam putusan itu, bahwa eksekusi mati tidak boleh dijalankan apabila terpidana mati mengajukan grasi dan belum dapat penolakan dari presiden.

Oleh karena itu, dia mempertanyakan sikap jaksa agung yang telah melaksanakan eksekusi mati itu. "Kenapa eksekusi dilakukan pada orang yang masih melakukan upaya grasi," tandasnya.

Pihaknya mengaku sudah melaporkan tindakan sewenang-wenang dari kejaksaan itu kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM Was).

"Rencananya Jumat (5/8) akan melaporkan juga ke Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) dan pekan depan ke Komisi Nasional (Komnas) HAM," katanya.

Tidak tertutup kemungkinan, pihaknya juga akan mengadukan ke Mahkamah Internasional atas tindakan melanggar HAM yang merampas nyawa seseorang. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI