Eksekusi hukuman mati "jilid III" terhadap terpidana kasus narkoba telah dilaksanakan di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada hari Jumat (29/7/2016), pukul 00.46 WIB.
Akan tetapi pelaksanaan eksekusi tersebut justru memunculkan berbagai pertanyaan, salah satunya terkait dengan jumlah terpidana mati yang dieksekusi.
Pertanyaan tersebut muncul karena beberapa hari menjelang eksekusi, Jaksa Agung H.M Prasetyo menyatakan sebanyak 14 terpidana mati kasus narkoba akan segera dieksekusi, namun dalam pelaksanaannya hanya empat orang yang dieksekusi.
Empat terpidana mati yang telah dieksekusi itu terdiri atas Freddy Budiman (warga negara Indonesia), Humprey Ejike (Nigeria), Gajetan Acena Seck Osmane (Senegal), dan Michael Titus Igweh (Nigeria).
Sementara 10 terpidana mati yang eksekusinya ditunda terdiri atas Merri Utami (Indonesia), Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdip Singh (India), Onkonkwo Nonso Kingsley (Nigeria), Obina Nwajagu (Nigeria), Ozias Sibanda (Zimbabwe), Federik Luttar (Zimbabwe), Eugene Ape (Nigeria), Pujo Lestari (Indonesia), dan Agus Hadi (Indonesia).
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho mengatakan pelaksanaan eksekusi hukuman mati itu menunjukan wibawa negara karena melaksanakan putusan hukum.
"Namun dari sisi implementasi jauh dari harapan kita karena dari 14 terpidana mati yang rencananya akan dieksekusi, hanya empat orang yang tereksekusi, ada apa ini," katanya.
Menurut dia, Kejaksaan Agung seharusnya melakukan penelitian mendalam terhadap terpidana mati yang akan dieksekusi sehingga tidak terjadi perubahan pada detik-detik terakhir menjelang eksekusi.
Ia menduga adanya faktor "X" yang mengakibatkan terjadinya perubahan jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi, padahal narkoba merupakan kejahatan global.
"Padahal, sudah banyak anggaran yang dikeluarkan namun pada akhirnya hanya ada empat orang yang dieksekusi," katanya.
Selain itu, kata dia, dari segi kualitas, nama-nama terpidana mati yang masuk dalam daftar eksekusi "jilid III", sebagian besar bukan merupakan gembong besar narkoba.
"Memang, ada nama Freddy Budiman yang akhirnya turut dieksekusi," tambahnya.
Menurut dia, perubahan jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi juga menunjukan adanya keragu-raguan dari sisi hukum dan nonhukum.
Kendati demikian, Hibnu mengakui adanya kemajuan dalam persiapan eksekusi "jilid III" jika dibanding eksekusi-eksekusi sebelumnya.
"Tidak ada ketentuan bahwa identitas terpidana mati yang akan dieksekusi diumumkan menjelang eksekusi. Kalau diumumkan, seolah-olah seperti 'infotainment'," katanya.
Sementara itu, Koordinator Kerohanian Islam Lembaga Pemasyarakatan Se-Nusakambangan K.H. Hasan Makarim menilai adanya upaya perbaikan sehingga pelaksanaan eksekusi "jilid III" ada peningkatan dari sebelumnya.
Ia menduga hal itu dilakukan Kejaksaan Agung untuk menghindari kesimpangsiuran informasi seperti yang terjadi pada bulan Mei 2016 terkait rencana eksekusi hukuman mati.
"Kesimpangsiuran informasi itu berdampak pada psikologis yang ada di dalam (lembaga pemasyarakatan,.red.)," katanya.
Menurut dia, kesimpangsiuran informasi itu mengakibatkan Kejaksaan Agung penuh kehati-hatian dalam mempersiapkan eksekusi "jilid III".
Bahkan hingga detik-detik menjelang eksekusi, Kejaksaan Agung belum merilis identitas terpidana mati yang akan dieksekusi.
Lebih lanjut, dia mengaku mendapat surat penugasan dari Kejaksaan Agung untuk memberi pendampingan bagi empat terpidana mati beragama Islam yang akan dieksekusi, salah satunya Freddy Budiman.
Dia mengaku memiliki kesan tersendiri terhadap Freddy Budiman karena saat baru kembali ke Nusakambangan, terpidana mati kasus narkoba yang selama hidupnya pernah mendekam di 16 lapas itu menemuinya untuk meminta nasihat.
Menurut dia, Freddy Budiman saat menjelang eksekusi tampak tegar.
"Dia mengaku sudah siap dieksekusi. Dia bilang alhamdulillah karena sebentar lagi akan bertemu Allah SWT," katanya.
Bahkan saat keluarganya datang, kata dia, Freddy sungkem kepada ibunya sembari meminta ampun karena selama ini telah merepotkan.
Menurut dia, Freddy juga berpesan kepada anak-anaknya untuk rajin salat dan menjauhi narkoba.
Terkait pembinaan bagi empat terpidana mati yang akan dieksekusi, Hasan mengatakan hal itu dilakukan seperti biasa.
"Seperti biasanya, selama pendampingan, saya tidak pernah bicarakan kematian. Saya berikan zikir, doa, dan penguatan mental," katanya.
Saat menjelang malam eksekusi, kata dia, Freddy bersama tiga terpidana mati yang beragama Islam itu menjalankan puasa Daud dan makan kurma setelah berbuka.
Selanjutnya, keempat terpidana mati itu mengenakan pakaian warna putih yang dibawa Hasan dan diberi wewangian.
"Freddy kemudian berpamitan, bahkan berpelukan dengan petugas lapas sembari meminta maaf. Dia juga bilang, Insya Allah sebentar lagi saya bertemu Allah SWT," katanya Menurut dia, Freddy dan tiga terpidana mati lainnya tampak tegar saat menunggu petugas yang akan membawa mereka ke Lapangan Tembak Tunggal Panaluan untuk menjalani eksekusi.
Akan tetapi saat penjemputan, kata dia, hanya Freddy yang dibawa petugas menuju lokasi eksekusi sedangkan tiga orang lainnya tetap di ruang isolasi Lapas Batu karena eksekusi terhadap mereka ditunda.
Disinggung mengenai pesan terakhir Freddy, dia mengatakan terpidana mati itu minta dimakamkan di Surabaya dan minta agar jenazahnya dipakaikan kain ihram yang pernah dipakai keluarganya saat ibadah haji dan umroh.
"Kami sudah laksanakan permintaan Freddy dengan memakaikan tiga helai kain ihram pada jenazahnya," kata Hasan.
Sementara Kepala Badan Narkotika Nasional Kabupaten Cilacap Ajun Komisaris Besar Polisi Edy Santosa mengaku sempat bertemu dengan Freddy Budiman setelah terpidana mati kasus narkoba itu berada di Lapas Batu, Pulau Nusakambangan.
"Dia tampak tegar meskipun badannya agak kurusan. Dia bilang, jangan lupakan salat," katanya. (Antara)