Suara.com - Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia R. Siti Zuhro mengatakan tujuh menteri perempuan di Kabinet Kerja tidak ada yang tersentuh pada reshuffle tahap kedua yang dilakukan Presiden Joko Widodo.
"Bahkan, pada pengumuman reshuffle tahap kedua, Presiden Joko Widodo menambah satu lagi menteri perempuan sehingga jumlahnya menjadi delapan," kata R Siti Zuhro, di Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Keenam Menteri Perempuan tersebut adalah Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, Menteri BUMN Rini M. Soemarno, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek.
Kemudian, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Yohana Yembise, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
"Keenam menteri perempuan yang ada di Kabinet Kerja, semuanya aman, tidak ada yang tersentuh, maksudnya tidak ada yang terkena reshuffle," katanya.
Bahkan, kata Siti Zuhro, Presiden Joko Widodo menambah satu menteri lagi dari kaum perempuan yakni Sri Mulyani Indrawati yang menduduki jabatan Menteri Keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro.
Dia menilai keenam Menteri perempuan tersebut semuanya tenang tidak membuat polemik di ruang publik.
Menteri Susi yang pada awal pemerintahan membuat gebrakan dengan menangkap kapal nelayan ilegal dan menenggelamkannya setelah diproses hukum, menurut dia, justru mendapat pujian dari publik.
Namun, Siti Zuhro justru memberikan wanti-wanti kepada Presiden Joko Widodo terkait ditempatkannya menteri perempuan yang baru di kabinet yakni Sri Mulyani.
Menurut dia Sri Mulyani masuk dalam pusaran politik yang menjadi sorotan publik ketika menjadi menteri keuangan pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sri Mulyani, kata dia, pada saat itu membuat kebijakan-kebijakan yang beresiko untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi sehingga muncul persoalan Bank Century.
"Saya berharap, Sri Mulyani tidak lagi melakukan kebijakan-kebijakan yang kontroversial dan berisiko pada Pemerintahan Presiden Jokowi saat ini," katanya. (Antara)