Suara.com - Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan DPR harus menangkap aspirasi publik yang tidak menghendaki TNI diberi kewenangan penindakan dalam pemberantasan terorisme.
"TNI dan Polri bekerja di area dan dengan pendekatan yang berbeda. Doktrin TNI adalah kill or to be killed dalam menghadapi musuh. TNI akan bekerja dalam kerangka perang yang dipastikan mengabaikan prinsip-prinsip fair trial dan penghormatan HAM," kata Hendari melalui pesan tertulis kepada Suara.com, hari ini.
Sedangkan Polri, katanya, bekerja pada area penegakan hukum sehingga patuh pada prinsip fair trial dan memungkinkan pengutamaan penghormatan terhadap HAM.
Pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang, kata Hendardi, hanya dibenarkan melalui perintah Presiden dan atau dengan membentuk UU Perbantuan Militer yang hingga kini belum juga dirancang, baik oleh DPR maupun pemerintah.
"Penundaan pembentukan UU Perbantuan Militer adalah cara untuk membiarkan TNI bekerja di wilayah abu-abu sehingga bisa masuk ke sektor manapun, bukan hanya terorisme, tetapi termasuk berbagai urusan sipil," kata dia.
Hendardi menekankan perluasan wewenang TNI dengan cara menyisipkan peran-peran baru dalam berbagai penanganan kejahatan dan memberi dukungan terhadap pelaksanaan pembangunan berpotensi mengembalikan supremasi militer pada ruang sipil.
"Jadi DPR mestinya menolak aspirasi pelibatan TNI dalam penindakan terorisme. Usulan ini merusak sistem penegakan hukum pidana," kata dia.