Suara.com - Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Sumpeno mencecar staf khusus Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Sunny Tanuwidjaja, soal pembahasan dua raperda tentang reklamasi Teluk Jakarta yang beraroma suap ke sejumlah anggota DPRD, Senin (25/7/2016).
Awalnya, hakim bertanya mengenai apakah pembahasan raperda reklamasi termasuk bidang politik atau bukan. Hal itu ditanyakan hakim karena Sunny mengaku menjadi staf khusus Ahok yang mengurusi politik.
"Reklamasi bidang politik atau bukan?" kata Hakim dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
"Bukan pak," Sunny menjawab.
Sunny mengakui menjadi penghubung antara pengembang reklamasi dan Pemprov DKI. Dia menyebut keluhan pengembang reklamasi yaitu adanya tambahan kontribusi yang diminta Ahok.
"Kalau soal tambahan kontribusi itu banyak keluhan. Itu sangat wajar. Itu (disampaikan) tidak langsung ke gubernur, mempertanyakan kontribusi. Di perjanjian kerja sama tidak ada angka, tapi gubernur (minta) ada kontribusi," kata dia.
Sunny menjelaskan kenapa menjadi penghubung, karena pengembang reklamasi sangat sulit bertemu Ahok.
"Dari pengembang ingin memberikan masukan ke Gubernur, biar adil. Kan dari mereka nggak melulu bisa ketemu Pak Gubernur. Jadi akhirnya melalui saya," kata Sunny.
Selain soal keluhan soal tambahan kontribusi, kepada Ahok, Sunny menyampaikan soal infrastruktur jalan proyek reklamasi.
"Misalnya terkait posisi jalan, yang menghubungkan antar pulau. Pengembang meminta, jangan di bibir pulau, tapi di pertengahan, biar efisien. Kemudian, yang lain, menghitung luas pulau, apakah di titik pasang atau surut," kata dia.
"Saya sampaikan (keluhan dan masukan dari pengembang) di Balai Kota," Sunny menambahkan.
Dalam sidang hari ini, jaksa penuntut umum KPK menghadirkan tujuh saksi. Mereka adalah Ahok, Sunny, Budi Setiawan, Budi Nuewono, Gerry Prasetia, Catharine Lidya, dan Berliana Kurniawati. Namun yang hadir hanya empat orang, Ahok, Sunny, Lidya, dan Berliana.
Dalam sidang, pemberian keterangan dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama Ahok dan Sunny. Sesi kedua Lidya dan Berliana.
Jaksa mendakwa Ariesman menyuap Mohamad Sanusi ketika masih menjabat Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra sebesar Rp2 miliar. Uang diberikan melalui anak buah Ariesman, Trinanda.
Uang tersebut diduga sebagai imbalan kepada Sanusi yang terlibat mempengaruhi pembahasan pasal tambahan kontribusi yang tercantum dalam pembahasan dan pengesahan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Ariesman didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sunny merupakan mahasiswa doktoral di Department of Political Science, Northern Illinois University. Di awal-awal kasus, Sunny disebut sebagai staf magang di Balai Kota untuk mengkaji cara kerja Ahok selama memimpin Jakarta dan mempelajari gaya politik Ahok. Sunny juga pernah tercatat sebagai peneliti di lembaga Centre for Strategic and International Studies Jakarta. Meski staf magang, dia dipercaya Ahok untuk mengatur jadwal pertemuan dengan pengembang. Namanya melesat setelah KPK mencegahnya ke luar negeri. Ia disebut pengacara bekas Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M. Sanusi, Krisna Murti, sebagai perantara pesan antara pemerintah daerah, DPRD, dan pengusaha seputar pembahasan rancangan perda reklamasi.