Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli mencurigai sikap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang belum menerima keputusan Pemerintah yang menghentikan permanen proyek reklamasi Pulau G di Pantai Utara Jakarta.
Sebab Ahok menyurati Presiden Joko Widodo meminta klarifikasi terkait penghentian proyek reklamasi pulau G tersebut.
"Sebetulnya satu Menteri saja sudah cukup untuk menghentikan (proyek reklamasi pulau G), Menteri Lingkungan Hidup misalnya, atau Menteri Kelautan. Nah ini tiga Menteri dan satu Menko," kata Rizal kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (19/7/2016).
Bahkan Rizal menuding sikap Ahok yang tak terima proyek reklamasi pulau G dihentikan karena pesanan pihak perusahaan dalam hal ini pengembang. Menurut dia, Ahok harusnya berterimakasih proyek reklamasi itu dibatalkan Pemerintah Pusat, sehingga ke depan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak bermasalah dan melanggan ketentuan hukum.
"Jadi seperti saya katakan, harusnya Ahok bersyukur masalah ini diambil alih Pemerintah. Saya juga bingung kenapa dia ngotot, dia Gubernur DKI atau karyawan pengembang?" ujar dia.
Dia menegaskan, proyek reklamasi pulau G di pantai Utara Jakarta tersebut harus dihentikan secarfa permanen, karena setelah diteliti masuk dalam kategori pelanggaran berat. Sementara dalam mengambil keputusan terkait masalah reklamasi tersebut Pemerintah Pusat yang terdiri dari unsur Kemenko Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Kementeriam Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga ada dari unsur Pemerintah DKI Jakarta.
"Kalau terjadi sesuatu yang membahayakan, siapa yang akan disalahkan nanti, pemrintah pusat juga kan. Kami nggak mau ya (disalahkan). Karena proyek reklamasi pulau G itu membahayakan," tutur dia.
Rizal menjelaskan, proyek reklamasi pulau G itu sangat dinilai sangat membahayakan. Sebab pertama mengganggu arus lalu lintas kapal nelayan tradisional yang berjumlah ratusan ke Muara Angke.
Kedua, di sana ada jaringan pipa gas, yang mana dalam aturan internasional dan aturan pemerintah bahwa jika ada jaringan pipa gas di bawah laut, di sekitarnya 500 meter sisi kiri dan kanan tidak boleh ada struktur bangunan.
"Kemudian ada power station di Muara Karang yang gara-gara space-nya semakin merapat, air lautnya jadi cooling system, menjadi lebih tinggi suhunya dan itu berbahaya. Karena berbahaya itulah kami memutuskan untuk menghentikan seluruhnya, karena itu masuk kategori pelanggaran berat," kata dia.