Suara.com - Direktur Riset Setara Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Ismail Hasani, mengatakan sejak setahun terakhir, warga negara Indonesia asal Papua mengalami kekerasan berlanjut, akibat pelarangan menyampaikan aspirasi melalui demontrasi dan kebebasan berekspresi lainnya.
"Kejadian terakhir adalah peristiwa kekerasan di Yogyakarta pada tanggal 15 Juli kemarin," kata Ismail melalui pernyataan tertulis yang diterima Suara.com, hari ini.
Ismail menambahkan demonstrasi adalah bentuk kebebasan berekspresi apapun tema yang disampaikannya. Bahkan, aspirasi pembebasan Papua juga sah untuk disampaikan dalam sebuah demonstrasi sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua. Selama demonstrasi itu disampaikan secara damai dan tidak adanya tindakan permulaan yang menunjukkan adanya makar, maka polisi apalagi ormas tidak boleh membatasi, melarang, dan menghakimi dengan kekerasan, katanya.
Menurut Ismail penggunaan ormas tertentu atau pembiaran ormas dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berbeda adalah modus lama yang ditujukan untuk membersihkan tangan polisi sebagai aparat keamanan.
"Dengan melibatkan atau membiarkan ormas, maka polisi terhindar dari tuduhan melakukan kekerasan. Padahal, membiarkan seseorang atau ormas melakukan kekerasan adalah tindakan pelanggaran HAM (violation by omission)," kata dia.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, katanya, harus menjelaskan peristiwa Yogyakarta secara gamblang agar kepercayaan publik tidak segera luntur di masa kepemimpinannya. Memang, kata Ismail, Tito punya pandangan agak konservatif perihal pembatasan HAM, seperti dalam kasus teorisme.
"Tetapi, membiarkan tindakan kekerasan terus menerus terhadap warga Papua adalah tindakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan semangat Jokowi yang berkali-kali menegaskan hendak mengatasi persoalan Papua secara holistik," kata Ismail.
Polri, katanya, harus bertindak adil dengan menghukum anggota ormas yang melakukan kekerasan. Apapun argumen ormas tersebut, rasisme, hate speech, dan kekerasan telah secara nyata diperagakan. Tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) adalah pelanggaran hukum, kata Ismail.
Ini merupakan buntut peristiwa pada Jumat (15/7/2016), dimana dari aparat kepolisikan melakukan penebalan keamanan di Asrama Mahasiswa Papua. Pengamanan diperketat karena adanya aktivitas dan simbol-simbol OPM di sana. Polisi bertindak dengan alasan konsinsten mengawal keutuhan NKRI. Dalam peristiwa tersebut, kepolisian mengamankan beberapa aktivis.