Sanusi Mengaku Akan Didukung Aguan di Pemilihan Gubernur Jakarta

Liberty Jemadu Suara.Com
Selasa, 19 Juli 2016 | 06:06 WIB
Sanusi Mengaku Akan Didukung Aguan di Pemilihan Gubernur Jakarta
Anggota DRPD Jakarta dari Fraksi Gerindra Mohamad Sanusi bersaksi di sidang Tipikor Jakarta, Senin (18/7) [Suara.com/Oke Atmaja].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pendiri Agung Sedayu Grup Sugianto Kusuma alias Aguan mendukung mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi menjadi bakal calon Gubernur DKI Jakarta.

Informasi ini dibeberkan sendiri oleh Sanusi saat bersaksi untuk terdakwa Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan pegawainya Trinanda Prihantoro di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (18/7/2016).

Ariesman dan Trinanda didakwa menyuap dengan uang Rp2 miliar untuk mengubah pasal yang mengatur kontribusi tambahan dari tadinya 15 persen menjadi 15 persen dari 5 persen kontribusi dalam raperda reklamasi pantai utara Jakarta.

"Saat pertemuan di Harco Mangga Dua, tapi saya lupa yang ngomong Pak Ariesman atau Aguan. Katanya 'Nanti lu gue bantu jadi balon (bakal calon gubernur). Waktu itu lupa saya, karena saya sama Pak Ariesman berada di lorong karena diantarkan oleh Pak Aguan," cerita Sanusi.

Pertemuan itu berlangsung pada Februari 2016 lalu. Hadir dalam pertemuan itu Ariesman, Sanusi, Aguan dan Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group yang melakukan pembangunan reklamasi di beberapa pulau.

"Waktu saya cerita macam-macam, termasuk balon saya. Itu bukan keinginan saya tapi partai yang mengajukan saya jadi balon, dan saya lupa yang ngomong siapa, karena sambil joke," ujar Sanusi.

"Dukungan selanjutnya disampaikan di Kafe Paul Plaza Indonesia waktu saya berdua dengan Pak Ariesman. Dia cerita-cerita kesanggupannya untuk membantu saya konkretnya dalam bentuk uang," tambah Sanusi.

"Tapi dalam BAP no 10 Anda menyebutkan, 'Saya diminta untuk mengerjakan tugas saya, isi teknis raperda dan ada timbal balik dari Ariesman dalam bentuk uang. Dengan saudara Ariseman sudah kenal lama saya dan Ariseman sudah tahu apa ucapan terima kasih tanpa saya harus katakan'. Jadi pernyataan dukungan dari Aguan dan Ariesman terkait apa?" tanya jaksa Ali Fikri.

"Ya yang saya jelaskan tadi," jawab Sanusi.

"Apakah saat itu masih dalam proses pembahasan raperda?" tanya jaksa Ali.

"Sudah habis waktunya kalau karena pertemuan itu terjadi kalau tidak salah setelah pembatalan paripurna terakhir tanggal 16 Maret 2016," jawab Sanusi.

"Saudara tindak lanjuti?" tanya jaksa Ali.

"Di Paul dia (Ariesman) cuma bilang 'Gue bantulah. Nanti orang gue si Nanda (Trinanda) urusan sama lu. Ya sudah, sama orang gue saja si Gerry'," jawab Sanusi.

Menurut Sanusi akhirnya Trinanda berkomunikasi dengan Gerry yang merupakan asisten Sanusi sekaligus keponakannya. Gerry mendapatkan uang dari Trinanda pada 28 Maret 2016 dan selanjutnya Gerry menyerahkan ke Sanusi di pom bensin dekat rumah Sanusi.

Uang selanjutnya diberikan Gerry kepada Sanusi di pusat perbelanjaan FX pada 31 Maret 2016.

"Uang pertama hari senin saya terima pertama, diinformasikan saudara Gerry. Kemudian pada malam hari ketemu Trinanda saya masih di luar nanti ketemu di pom bensin dekat rumah. Saya terima Rp1 miliar. Kedua hari Kamis, Gerry telepon supaya bertemu habis magrib. Jadi janjian ke FX Senayan dapat Rp1 miliar lagi jadi total Rp2 miliar," ungkap Sanusi.

Uang Rp1 miliar pertama menurut Sanusi sudah digunakan untuk keperluan operasional sedangkan uang kedua masih utuh saat Sanusi ditangkap KPK.

Dalam perkara ini, Ariesman dan Trinanda didakwa berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI