Suara.com - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan rating media penyiaran merupakan salah satu perhatian pemerintah terkait dengan upaya meningkatkan kualitas isi media penyiaran di Indonesia. Bahkan, Presiden Joko Widodo pada pidato kenegaraan tahun lalu menjelang Hari ulang tahun ke-70 Kemerdekaan Indonesia mengkritik keras televisi yang hanya mengejar rating, tidak mementingkan fungsi memandu publik.
“Kalau Presiden sampai bicara seperti itu pasti rating ini masalah serius dan penting,” kata Rudiantara saat menerima audiensi tim Aliansi Jurnalis Independen Jakarta di kantornya, Kamis 14 Juli 2016.
Karena itu, kata Rudiantara, pemerintah akan memasukkan klausul ihwal pengaturan rating dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang kini
masih dibahas di parlemen. Undang-Undang Penyiaran yang berlaku saat ini dan diterbitkan pada 2002 sama sekali tidak menyebut kata
“rating”. Menurut dia, memasukkan pasal rating dalam rancangan itu mudah.
“Tapi sampai saat ini pemerintah belum menerima draf RUU Penyiaran dari DPR,” katanya.
Revisi UU Penyiaran merupakan inisiatif dari parlemen.
Audiensi tersebut merupakan upaya AJI Jakarta untuk mendorong sistem rating media penyiaran yang lebih transparan dan akuntabel. Akhir Juni
lalu, AJI Jakarta dengan dukungan Yayasan Tifa meluncurkan hasil riset bertema “Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Rating Media Penyiaran” yang menghasilkan sejumlah rekomendasi ke pemerintah dan parlemen.
Dalam pertemuan dengan Menteri Rudiantara, AJI Jakarta menyampaikan gagasan pembentukan Dewan Rating untuk menjawab masalah rating media penyiaran di Indonesia. Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim mengatakan pembentukan Dewan Rating menjadi jawaban ketika tidak muncul inisiatif dari pengguna data rating yakni televisi, production house atau rumah produksi, biro iklan, dan perusahaan iklan, untuk menyelesaikan
masalah rating. Padahal survei kepemersiaan televisi oleh Nielsen sudah dilakukan sejak awal 1990-an.
“Kalau tidak ada inisiatif dari industri, kami berharap negara perlu turun tangan karena televisi menggunakan frekuensi publik,” ujar Nurhasim.
Selama ini, Nielsen menjadi satu-satunya lembaga yang menyediakan data rating di 11 kota di Indonesia. Namun dalam menyediakan data Rating,
Nielsen tidak pernah diaudit dari luar. Metode acak dan keterwakilan responden Nielsen juga dipertanyakan karena tertutupnya sampel
responden Nielsen serta pengambilan sampel individu.
Padahal mengukurnya dari sebuah televisi keluarga yang disaksikan secara bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga. Ini berarti, yang memegang remote televisi yang menjadi penentu program yang ditonton.
Dewan Rating yang diusulkan AJI Jakarta, menurut Koordinator Program Riset Rating AJI Jakarta Afwan Purwanto, setidaknya mempunyai tiga
fungsi pokok: membuat standar minimal dan prosedur pelaksanaan rating televisi di Indonesia, mengaudit dan mengakreditasi penyelenggara
rating, dan dalam jangka panjang Dewan Rating bisa memilih perusahaan penyedia data lewat tender.
“Jika kinerja perusahaan penyedia data rating tidak memuaskan dapat diganti oleh perusahaan lain lewat proses tender,” kata Afwan.
Data rating ibarat “mata uang” yang dipakai oleh empat pihak sekaligus, yakni televisi, perusahaan pemasang iklan, biro iklan, dan production house. Pengiklan dan biro iklan memakai rating sebagai dasar untuk menempatkan iklan di program yang sesuai target produk mereka. Televisi menggunakannya sebagai rujukan memproduksi program sehingga data rating kerap dianggap sebagai penyebab buruknya kualitas isi siaran.
Menurut Afwan, ada salah kaprah para pemangku program televisi yang menganggap rating menjadi “dewa” utama.
“Padahal biro iklan menjadikan data rating hanya untuk menentukan segmentasi produk yang akan mereka iklankan,” ujar dia.
Menteri Rudiantara menyambut positif usulan AJI Jakarta. Tapi, kata dia, yang tak kalah penting justru mendorong self regulation oleh industri penyiaran yang mengguna data rating. Menurut dia, gagasan pembentukan Dewan Rating juga perlu mendengarkan keinginan dari para pemangku kepentingan data rating, terutama televisi dan pengiklan.
Tapi dia memastikan bahwa pasal rating akan dimasukkan dalam RUU Penyiaran.
“Ini sudah menjadi keinginan Presiden,” kata Rudiantara.