Inggris Keluar Uni Eropa, Muslim dan Minoritas Jadi Objek Rasisme

Ruben Setiawan Suara.Com
Selasa, 28 Juni 2016 | 14:21 WIB
Inggris Keluar Uni Eropa, Muslim dan Minoritas Jadi Objek Rasisme
Bendera Inggris yang berkibar di kawasan Gibraltar, teritori Britania Raya yang berbatasan dengan Spanyol. (Reuters)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Keluarnya Inggris dari Uni Eropa pascareferendum yang digelar pekan lalu ternyata memunculkan dampak sosial yang tidak kecil. Tindakan rasisme, baik yang dilakukan secara individual maupun berkelompok kian marak terjadi di Inggris.

Berdasarkan laporan Tell MAMA, organisasi pemantau aksi diskriminasi anti-Muslim, frekuensi tindakan rasisme meningkat hingga 326 persen dibandingkan tahun lalu. Sementara itu, kelompok majelis taklim masjid, Dewan Muslim Inggris, mengaku sudah mendapat sekitar 100 laporan insiden ujaran kebencian sepanjang akhir pekan lalu.

Selain Muslim, warga keturunan Polandia dan kelompok warga minoritas lainnya juga diserang secara verbal dalam beberapa hari terakhir. Dewan Kepala Polisi Nasional mengatakan, aduan mengenai ujaran kebencian meningkat 57 persen sejak Kamis hingga Minggu pekan lalu, dibandingkan dengan periode yang sama empat pekan lalu.

Segelintir kalangan wartawan juga mendapat perlakuan serupa. Reporter Radio 4 Inggris, Sima Kotccha, diteriaki dengan kata-kata berbau rasis. Sima mengatakan, dirinya terakhir kali mendengar kata-kata tersebut pada era tahun 80an.

Organisasi Tell MAMA mengatakan, kebencian terhadap Muslim memang meningkat tahun ini. Diduga, hal ini terjadi akibat sejumlah insiden serangan terorisme yang terjadi di Eropa sebelum referendum Uni Eropa.

Berdasarkan survei mereka, ujaran kebencian yang terjadi di media sosial biasanya didalangi oleh para aktivis sayap kanan Inggris. Sementara itu, ujaran kebencian di dunia nyata biasanya terjadi di sekolah, kampus, restoran, dan alat transportasi umum.

Tell MAMA mengatakan, dampak paling buruk dialami oleh kaum perempuan, terutama mereka yang mengenakan pakaian khas Muslim. Kini, sebagian dari mereka merasa enggan beraktivitas di luar rumah.

"Dengan latar belakang kemenangan Brexit (kubu yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa) dan insiden-insiden rasis yang meningkat jumlahnya, pemerintah harus segera bertindak, karena segala hal menjadi amat tidak menyenangkan bagi kaum minoritas di Inggris. Maka pada hari ini, kami membutuhkan pemerintah, partai politik, dan media untuk segera beraksi dan membantu kami menghadapi dampak Brexit," kata Ketua Tell MAMA, Shahid Malik.

Tell MAMA mengatakan, 61 persen korban tindakan rasisme ini adalah kaum perempuan. Sebanyak 75 persen dari perempuan tersebut adalah Muslim.

Mereka biasanya jadi korban ujaran kebencian dan rasisme saat bepergian dengan alat transportasi umum atau ketika sedang berbelanja. Sekitar 11 persen terjadi di sekolah dan kampur. Sebanyak 35 persen diantaranya merupakan tindakan pelecehan maupun serangan secara fisik.

Tell MAMA mengungkap, para pelaku biasanya berusia antara 13 hingga 18 tahun. Diduga, para pelaku ini menjadi radikal dan tidak lagi memiliki orientasi multikultural.

Perdana Menteri Inggris, David Cameron, sudah menyadari hal ini. Di hadapan House of Commons atau Dewan Rakyat Britania Raya, Cameron sudah menyebutkan bahwa insiden rasisme yang dialami kaum imigran pascareferendum sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. (Independent)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI