Suara.com - Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek berjanji untuk mengusut tuntas kasus peredaran vaksin balita palsu. Kemenkes akan bekerjasama dengan kepolisian.
"Kami mendukung sekali dan akan melakukan langkah lanjutan bagaimana menyelesaikan masalah ini. Kami akan kerjasama dengan Bareskrim dan minta bantuan Kapolri untuk menyelesaikan masalah ini sampai tuntas," kata Nila di ruang rapat Komisi IX DPR RI, komplek DPR, Jakarta, Senin (27/6/2016).
Sampai saat ini Nila belum mengetahui vaksin palsu tersebut telah diedarkan di daerah mana saja, begitu juga korbannya berapa.
"Pelaku distribusi kemana saja, siapa yang terkena dan bagaimana mengatasi untuk yang terkena," tutur Nila.
Nila mengatakan sampai sejauh ini juga belum bisa memastikan kandungan dalam vaksin palsu. Namun laporan sementara, vaksin ilegal tersebut merupakan campuran antara air infus dan gentamicin.
"Konten vaksin ini apa, kami hanya dengar di media. Isinya cairan infus ditambah gentamicin," kata Nila.
Untuk mengambil langkah berikutnya, Kementerian Kesehatan akan terlebih dulu menunggu hasil uji laboratorium yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap sampel vaksin palsu.
"Badan POM akan uji laboratorium. Tapi karena itu merupakan barang sitaan kita tidak bisa mengambil begitu saja dan memeriksa," kata Nila.
Sampai hari ini sudah ada 15 tersangka yang ditangkap dalam kasus vaksin palsu. Dua di antaranya -- suami istri, baru pagi tadi dibekuk di salah satu hotel di Semarang, Jawa Tengah.
Sebelumnya dalam penyidikan kasus ini, diketahui ada tiga kelompok produsen vaksin.
Tiga kelompok produsen vaksin itu, P (ditangkap di Puri Hijau Bintaro), tersangka HS (ditangkap di Jalan Serma Hasyim Bekasi Timur), serta suami-istri H dan R (ditangkap di Kemang Regency).
Dari usaha vaksin palsu, terungkap bahwa produsen vaksin bisa memperoleh keuntungan hingga Rp25 juta sepekan. Sementara pihak distributor meraup keuntungan Rp20 juta.
Agung mengatakan vaksin-vaksin palsu itu didistribusikan di Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Semarang (Jawa Tengah) dan Yogyakarta. Mereka sudah menggeluti usaha ini sejak 2003.
Jika dihitung kasar maka keuntungan bisnis haram di tangan distributor adalah Rp16.900.000.000 dan Rp13.520.000.000.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 197 UU Nomor 36/2009 Tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar dan Pasal 62 Jo Pasal 8 UU Nomor 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen.