Referendum Penentu Nasib, Akankah Inggris Tinggalkan Uni Eropa?

Ruben Setiawan Suara.Com
Kamis, 23 Juni 2016 | 14:33 WIB
Referendum Penentu Nasib, Akankah Inggris Tinggalkan Uni Eropa?
Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Wali Kota London Sadiq Khan dalam kampanye mendukung Britania untuk tetap dalam Uni Eropa. (Reuters)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Warga Britania (Inggris dan Wales) akan menentukan masa depan negara mereka dan Eropa pada hari ini, Kamis (23/6/2016) melalui referendum keanggotaan Uni Eropa. Seperti dikutip dari AFP, jutaan warga Britania sudah mulai memberikan suara mereka. Nasib Britania, apakah akan tetap bergabung atau berpisah dengan Uni Eropa akan ditentukan melalui referendum ini.

Tempat-tempat pemungutan suara akan dibuka hingga pukul 22.00 waktu setempat (Jumat (24/6/206) pukul 04.00 WIB). Hasil awal akan mulai diumumkan sekitar pukul 04.00 waktu setempat (pukul 11.00 WIB).

Atas desakan dari sayap Partai Konservatif yang anti-Uni Eropa, Perdana Menteri Inggris, David Cameron menggelar referendum. Berdasarkan sebagian besar survei yang digelar sebelum referendum, dukungan dari pemilih yang memilih "Pergi" dengan yang memilih "Tinggal" (tetap bersama Uni Eropa) sama kuat.

Para politisi yang mengkampanyekan pemisahan Britania mengklaim bahwa perekonomian akan diuntungkan dengan adanya Brexit atau British Exit. Sementara, Cameron, yang ironisnya, berseberangan dengan sebagian politisi partainya sendiri, menyatakan bahwa pemisahan dengan Uni Eropa akan memicu kekacauan perekonomian.

Para pedagang, investor, dan perusahaan-perusahaan yang ada di Britania sudah bersiap menghadapi gejolak di pasar, akibat apapun hasil dari referendum tersebut. Banyak sisi kehidupan masyarakat yang bergantung pada hasil referendum tersebut.

"Berikanlah suara untuk tetap di Uni Eropa demi Britania yang lebih besar di dalam Uni Eropa yang baru," kata Cameron kepada para pendukung "Tinggal", seperti dikutip Reuters, Rabu (22/6/2016).

Di lain pihak, Rival utama Cameron, mantan wali kota London Boris Johnson, yang mendukung pemisahan Britania, menguatkan kembali para pendukung, dengan mengatakan, "Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk membereskan ini semua".

Nilai tukar mata uang Poundsterling menguat terhadap Dolar AS di titik tertingginya tahun ini, pada Rabu malam, setelah sebuah polling mengumumkan hasilnya, di mana pemilih "Tinggal" lebih unggul dari mereka yang ingin pisah.

Pada Rabu, para juru kampanye dari kedua belah kubu mencoba saling berebut para pemilih yang belum menentukan pilihan. Diperkirakan, 10 persen dari 46,5 juta pemilih yang mengikuti poling, belum tahu akan memilih opsi yang mana.

Para juru kampanye "In" atau yang mendukung tetap dengan Uni Eropa, mengatakan bahwa Brexit akan menggoyahkan perekonomian, keamanan, dan status negara. Sementara itu, dalam kampanye "Out" atau yang mendukung pemisahan, menyoroti kemungkinan masuknya imigran yang tidak terkendali dari negara-negara Uni Eropa lainnya.

"Jika kita tidak memilih untuk pergi (berpisah) besok, kita akan terus terkunci di belakang mobil, yang dikemudikan ke arah yang tak pasti, atau sejujurnya, ke sebuah tempat yang tidak kita inginkan dan mungkin oleh pengemudi yang tidak berbicara bahasa Inggris dengan baik," kata Boris Johnson, seorang kandidat kuat untuk menggantikan David Cameron sebagai Perdana Menteri. (Reuters)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI