Suara.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Agus Rahardjo menegaskan bahwa dalam menyelidiki kasus dugaan korupsi pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, pihaknya tidak pernah membantah terkait hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"KPK menyatakan bahwa sampai dengan saat ini belum ditemukan Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Sehingga belum membawa permasalahan Rumah Sakit Sumber Waras ke ranah Penyidikan Tipikor. KPK tidak menegasikan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi yang telah disampaikan BPK kepada KPK," kata Agus dalam konferensi pers usai bertemu dengan pimpinan BPK di Gedung BPK, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (20/6/2016).
Sementara itu, BPK tetap ngotot mengatkan bahwa dalam pembelian lahan tersebut terdapat kerugian negara. Karena itu, BPK meminta Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk menindaklanjuti hasil tersebut.
"BPK menyatakan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam permasalahan RS Sumber Waraa, sehingga berdasarkan amanat UUD 1945, Pasal 23 E ayat 3, Pemprov DKI tetap harus menindaklanjuti Lappran Hasil Pemeriksaan Keuangan Pemprov DKI Tahun 2014 yang telah diterbitkan BPK," kata Ketua BPK, Harry Azhar Aziz.
Dalam pertemuan pimpinan kedua lembaga tersebut baik KPK maupun BPK menyatakan kesediaan mereka untuk saling menghormati kewenangan masong-masing. Dan atas kewenangan masing-masing tersebut, keduanya sudah menjalankannya.
"KPK dan BPK akan saling bersinergi untuk melaksanakan tugas pokoknya dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Agus.
Seperti diketahui kehebohan kasus RS Sumber Waras kembali heboh setelah KPK menyampaikan status dari kasus tersebut. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR, KPK menjelaskan bahwa dalam kasus tersebut KPK belum menemukan unsur pelanggaran pidananya.
Padahal sebelumnya, BPK DKI menemukan ada pelanggaran yang berujung pada kerugian negara senilai Rp191 miliar Hal itu diperkuat oleh hasil audit invetigasi BPK RI yang menyebutkan terdapat kerugian negara senilai Rp173 miliar dalam kasus yang diduga melibatkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tersebut.