Suara.com - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut operasi pasar yang kerap dilakukan pemerintah saat terjadi gejolak harga pangan sebagai upaya yang tidak mendidik dan menyesatkan.
Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta mengatakan teori operasi pasar yang menyesatkan itu adalah saat harga sedang melambung. Kemudian pemerintah mencari pedagang yang menjual dengan harga rugi dan menjualnya ke masyarakat dengan harga rendah.
"Operasi pasar itu tidak mendidik, itu ilmu yang menyesatkan. Tidak perlu sekolah tinggi untuk bisa jual rugi begitu. Pasti dibeli orang," kata dalam diskusi di Kantor CORE, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Tutum mengatakan kegiatan operasi pasar yang "menyesatkan" itu baru dipakai sekitar tujuh atau delapan tahun belakangan. Kata dia operasi pasar hanya ditujukan kepada karyawan di lingkungan pemerintahan. Namun, kegiatan operasi pasar tersebut malah berlanjut dan diklaim pemerintah sukses menstabilkan gejolak harga pangan.
"Orang-orang di luar negeri bilang hebat karena bisa turunkan harga beberapa jam, lalu harga naik lagi setelah operasi pasar selesai. Ya itu namanya bukan operasi pasar," ujarnya.
Menurut Tutum, operasi pasar yang sebenarnya seharusnya melibatkan para pedagang pasar dan pengusaha ritel. Hal itu jauh berbeda dengan praktik operasi pasar yang saat ini dilakukan pemerintah karena dinilai menghantam pedagang ritel dan tradisional.
"Kami sudah lama membangun pasar dan saat harga naik, kami dihantam dengan pemerintah yang mau stabilkan harga dengan menjual murah. Padahal harga kami dipasok dan kami hanya cari margin," katanya.
Tutum mengibaratkan operasi pasar seperti mengobati penyakit dengan koyo panas yang ditempel ke tubuh, di mana saat koyo dicabut maka penyakit utama tidak pernah sembuh.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran menilai operasi pasar seharusnya bekerja sama dengan para pedagang lokal.
"Mungkin bisa kerja sama dengan pedagang-pedagang, asosiasi, itu diserahkan barangnya dan dikontrol. Tidak dibuat orang ngantre berderet untuk beli. Bahkan untuk ongkos ke lokasi operasi pasar saja bisa lebih mahal," katanya. (Antara)