Suara.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan eksekutor hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak akan diatur kemudian melalui peraturan pemerintah. Sang eksekutor adalah dokter.
Sebelumnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak dilibatkan sebagai eksekutor hukuman kebiri yang ditetapkan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena tidak sesuai dengan kode etik kedokteran. Namun Kumham tidak patah akal.
"Kalau IDI tidak mau nanti kami cari dokter yang mau, karena ini perintah Undang-Undang. Hukuman mati yang menembak juga dilarang KUHP, tidak boleh menghilangkan jiwa orang lain apalagi dengan sengaja," kata Yasonna ditemui di Jakarta, Senin (13/6/2016) malam.
Yasonna menghargai keputusan dan sikap IDI karena menurut dia penolakan tersebut merupakan hak dari organisasi profesi itu. Menkumham juga menjelaskan bahwa Perppu 1/2016 tidak kemudian membuat seseorang pelaku kejahatan seksual anak akan langsung mendapatkan hukuman kebiri. Ketentuan-ketentuannya akan diatur kemudian melalui peraturan pemerintah.
"Nanti kalau sudah perppu disahkan DPR menjadi UU baru turunannya (dibuat). Memang sekarang perppunya sudah berlaku. Tapi nanti kami susun peraturan pemerintahnya tiba-tiba sudah dibatalin lagi," kata Yasona.
Perppu 1 Tahun 2016 memperberat hukuman pokok pelaku kejahatan seksual yaitu dengan hukuman mati, penjara seumur hidup, atau maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara.
Selain itu, perppu itu juga mengatur tiga hukuman tambahan, yaitu kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku ke publik melalui media, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
"Terserah hakimnya apakah hukuman pokok ditambah tambahan, atau hanya pokok saja. Hukuman tambahannya juga terserah hakim, penambahan pidananya juga terserah hakim. Tidak mungkin seorang hakim gegabah menjatuhkan hukuman tambahan kebiri tanpa melihat 'the nature of the crime', fakta-faktanya, pelakunya. Tidak berarti asal memperkosa ramai-ramai langsung dikebiri," ucap Yasonna.
Sebelumnya, Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis mengemukakan adanya sanksi tambahan berupa kebiri kimia yang mengarahkan dokter sebagai eksekutor, maka didasarkan fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia yang juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta Kode Etik Kedokteran Indonesia membuat IDI menyampaikan agar pelaksanaannya tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor.
IDI mendorong keterlibatan dokter dalam hal rehabilitasi korban dan pelaku. Rehabilitasi korban, menurut Ilham, menjadi prioritas utama guna mencegah dampak buruk dari trauma fisik dan psikis.