Solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM menolak pembentukan tim penyelesaian kasus HAM di wilayah itu yang dibentuk oleh Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan dengan melibatkan sejumlah pihak di Bumi Cenderawasih.
"Kami dengan tegas menolak oknum-oknum Papua yang terlibat dalam tim penyelesaian HAM Papua yang dibuat oleh pemerintah pusat," kata Pdt Anike Mirino di Kota Jayapura, Sabtu (11/6//2016).
Pernyataan ini disampaikan oleh Anike ketika didampingi oleh beberapa orang rekannya diantaranya, Frederika Korain, Bernadetha Mahuse, Mientje Uduas, Iche Morip, Fransiska Pinimet dan Zandra Mambrasar.
Menurut dia, oknum-oknum warga Papua yang dimaksud didalam tim penyelesaian HAM Papua bentukan Pemerintah Pusat antara lain Matius Murib, Marinus Yaung dan Lien Maloali bukanlah representasi dari perwakilan rakyat Papua.
"Kami juga menolak kelompok-kelompok apapun yang dibentuk oleh negara Indonesia untuk penyelesaian masalah Papua yang tidak aspiratif. Mendesak tim pencari fakta dari Pasifik Island Forum untuk segera datang dan melakukan tugasnya di Papua demi penegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan sifat universal HAM di dunia," katanya.
Selain itu, kata dia, Solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM mendesak intervensi dewan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), lembaga-lembaga kemanusiaan internasional dan masyarakat internasional untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
"Kami menyerukan kepada seluruh masyarakat internasional untuk tidak menerima kelompok-kelompok yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat yang bertujuan untuk mengelabui perjuangan murni rakyat Papua," katanya.
Lebih lanjut Anike mengatakan Solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM bekerja untuk mengadvokasi berbagai kasus pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara di provinsi paling timur Indonesia yang memastikan prinsip keberpihakan pada kebenaran dan keadilan korban.
"Dimana sejarah aneksasi Papua Barat sejak 1963 dan selama 53 tahun lamanya. Mengingat perempuan Papua dalam situasi konflik dan kesehariannya, perempuan Papua adalah pihak yang menjadi korban dan menderita karena dirinya, suami, anak dan keluarga di bunuh. Lalu, rumah dan harta benda di bakar serta dimusnahkan," katanya.
Selain itu, mengungsi ke hutan atau ke tempat lain karena tidak ada rasa aman. Perempuan juga dijadikan alat penunjuk jalan mencari suaminya di hutan karena dituduh terlibat Organisasi Papua Merdeka.
"Dan yang paling brutal adalah mengalami kekerasan seksual. Bahkan setelah konflik berakhir perempuan Papua mengalami diskriminasi yang terus berlanjut karena stigma politik," katanya.
Bukan itu saja, lanjut Anike, diskriminasi dalam pembangunan karena layanan hak dasar yang tidak terpenuhi, eksploitasi sumber daya alam yang menjauhkan perempuan Papua dari sumber penghidupannya oleh negara dan aktor-aktor lainnya.
"Sejumlah catatan, tulisan bahwa ulasan terkait HAM yang dilakukan oleh lembaga-lembaga gereja, LSM dan masyarakat sipil di Papua telah melaporkan sejumlah tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap perempuan Papua yang dilakukan oleh aparat negara," katanya.
Sehingga, perempuan Papua mengalami penindasan karena kekerasan yang militeristik yang mengamankan kepentingan kaum imperialis, kapitalis serta kebijakan kolonialisme negeri secara sistematis dan terstruktur di segala bidang.
"Kekerasan negara terhadap perempuan Papua telah melanggar Deklarasi Umum HAM dan Konvensi HAM lainnya. Dalam situasi yang sulit tanpa ada keinginan baik dari Pemerintah Indonesia, kami mencermati dan menyikapi situasi yang berkembang terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua," katanya.
Apalagi, dilakukan secara sepihak tidak sesuai dengan mekanisme Hukum Internasional dan rasa keadilan yang menjadi harapan korban pelanggaran HAM di Papua.
"Untuk itu, terhadap tim bentukan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua yang juga melibatkan oknum-oknum Papua, kami tolak. Karena bagi Rakyat Papua, negara adalah pelaku pelanggaran HAM yang tidak mungkin mengadili dirinya sendiri," katanya. (Antara)