Perbaiki Pemilu, Kodifikasi UU Pemilu Perlu Dilakukan

Adhitya Himawan Suara.Com
Sabtu, 11 Juni 2016 | 07:51 WIB
Perbaiki Pemilu, Kodifikasi UU Pemilu Perlu Dilakukan
Profesor Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra. (dua dari kiri). [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

 Profesor Hukum Tata Negara Saldi Isra, menyebutkan bahwa pembukuan (kodifikasi) undang-undang Pemilihan Umum (Pemilu) perlu dilakukan untuk memperbaiki pelaksanaan pemilu di Indonesia.

"Kodifikasi undang-undang pemilu perlu dilakukan untuk mewujudkan sebuah aturan yang tersusun secara logis, serasi, dan pasti," kata Saldi Isra, dalam konsultasi publik yang digelar Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, bersama Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu, di Padang, Sumatera Barat, Jumat (10/6/2016).

Ia menjelaskan, pemilihan umum pascaperubahan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 mengalami perkembangan yang amat pesat. Ditandai dengan tingginya tingkat kebutuhan terhadap aturan pemilu, dan banyaknya jenis pemilu yang harus diselenggaran dalam suatu periode pemerintahan.

"Hanya saja perkembangan tersebut juga membawa dampak terhadap munculnya kompleksitas. Beberapa di antaranya adalah ketidakharmonisan, ketidakpastian aturan, ketegangan antarinstitusi yang terlibat dalam penyelenggaran, ketidakpastian proses penegakan hukum, dan penyelesaian sengketa pemilu," jelasnya.

Menurutnya jika menyerdahanakan, inti persoalan tersebut terdapat pada aturan terkait pemilu. Baik yang berkenaan dengan penyelenggaraan, maupun yang berhubungan dengan institusi penyelenggara.

Ia membeberkan, saat ini untuk pemilu dan pilkada terdapat empat undang-undang yang berlaku secara bersamaan. Yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang Nomo 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilhan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta Undang-undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu.

"Dari tiga undang-undang tersebut tahapan-tahapan penyelenggaraan tidaklah serasi satu sama lain. Namun institusi penyelenggara pemilu yang melaksanakannya tetap sama, yaitu yang diatur Undang-undang Nomor 15 tahun 2011," katanya.

Akibatnya, kata Saldi Isra, penyelenggara pemilu akhirnya dihadapkan pada dilema pelaksanaan kewenangan dari satu pemilu, ke pemilu lainnya. Selain itu ketidak harmonisan peraturan dinilai juga terjadi dari tiga undang-undang yang mengatur pemilu tersebut.

Ia menerangkan salah satu ketidak harmonisan itu dilihat dari pengujian yang dilakukan terhadap Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Melalui putusan bernomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pelaksanaan Pilpres dan Pemilihan Anggota Lembaga Perwakilan yang tidak serentak, tidak sejalan dengan prinsip konstitusi, sesuai pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yang menghendaki adanya efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

Putusan MK tersebut jug menegaskan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tidak lagi diselenggarakan setelah pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. melainkan dilaksanakan secara serentak.

"Dengan demikian tahapan-tahapan Pemilu Presiden akan menyatu dengan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Ketika tahapan dua jenis pemilu itu digabungkan, bagaimana mungkin undang-undang kedua pemilu itu tetap dibiarkan terpisah seperti yang ada saat ini," jelasnya.

Dengan ketidak harmonisan yang muncul tersebut, ia menilai kodifikasi undang-undang pemilu perlu dilakukan antar undang-undang yang berada dalam suatu rumpun yang sama tersebut.

"Masih terdapat beberapa ketidak harmonisan lainnya yang ditemukan antar undang-undang yang menjadi dasar pemilu tersebut, seperti ketentuan pidana, pelanggaran, dan lainnya. Jika tidak diserasikan maka akan menimbulkan kebingungan bagi penyelenggara sendiri, serta masyarakat," ujarnya.

Sebelumnya, konsultasi publik tersebut digelar sejak Pukul 15.00 WIB, di Hotel Mercure, Kota Padang. Selain Saldi Isra, dalam kegiatan itu juga terdapat empat pemateri lainnya.

Pemateri tersebut dari Sekretariat Bersama Koalisi Untuk Kodifikasi Undang-undang Pemilu Sri Budi Eka Wardani, serta Titi Anggraini, Dosen Hukum Tatan Negara sekaligus peneliti PUSaKO Khairul Fahmi, Donal Faris dari Indonesia Corruption Watch (ICW). (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI