Komisi Pemilihan Umum mengungkapkan sebenarnya belum sepakat dengan beberapa poin dalam draft final revisi kedua UU tentang Pilkada. KPU mengakui tak banyak diikutsertakan dalam pembahasan. Pasalnya, DPR tidak mengundang untuk duduk bersama membahas revisi pasal demi pasal.
"Kami dua-tiga hari ikut pembahasan di awal dan pembahasan sangat teknis. Menyangkut pasal yang politis kami tak ikut, tak sumbang saran. Kami juga tidak diundang oleh DPR untuk pembahasan selanjutnya, pada awal itu kita hadir karena diundang oleh pemerintah," kata Ketua KPU Husni Kamil Manik di gedung Badan Pengawas Pemilu, Jalan M. H. Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (10/6/2016).
UU tentang Pilkada telah disahkan menjadi dalam rapat paripurna DPR pada Kamis (2/6/2016.
Salah satu pasal tidak disepakati KPU adalah Pasal 9 huruf a. Pasal ini dianggap membatasi independensi komisi. Pasal 9 mengatur tugas dan kewenangan KPU adalah menyusun dan menetapkan peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya mengikat.
Sementara, Pasal 22 (b) huruf a dinilai menggerus independensi Bawaslu. Dalam pasal itu disebutkan penyusunan dan penetapan peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
"Mengenai (pasal) kewajiban konsultasi ini. Kami tak pernah ikut dan tak pernah diundang," kata Husni.
Ketika ditanya kemungkinan KPU mengajukan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, Husni belum bisa menjawab secara eksplisit. Dia masih menunggu harmonisasi aturan yang dilakukan pemerintah.
Dia menambahkan keberadaan KPU sejatinya ada di Undang-Undang Dasar 1945. KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Apabila konsultasi itu hasilnya dipaksakan mengikat, ini bisa berpotensi mengganggu komando seperti dalam UUD," katanya.
"KPU terus bekerja sebagaimana perintah UU. Kalau ada UU baru kami akan laksanakan tugas sebagimana UU baru mengatur," Husni menambahkan.
"Kami dua-tiga hari ikut pembahasan di awal dan pembahasan sangat teknis. Menyangkut pasal yang politis kami tak ikut, tak sumbang saran. Kami juga tidak diundang oleh DPR untuk pembahasan selanjutnya, pada awal itu kita hadir karena diundang oleh pemerintah," kata Ketua KPU Husni Kamil Manik di gedung Badan Pengawas Pemilu, Jalan M. H. Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (10/6/2016).
UU tentang Pilkada telah disahkan menjadi dalam rapat paripurna DPR pada Kamis (2/6/2016.
Salah satu pasal tidak disepakati KPU adalah Pasal 9 huruf a. Pasal ini dianggap membatasi independensi komisi. Pasal 9 mengatur tugas dan kewenangan KPU adalah menyusun dan menetapkan peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya mengikat.
Sementara, Pasal 22 (b) huruf a dinilai menggerus independensi Bawaslu. Dalam pasal itu disebutkan penyusunan dan penetapan peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
"Mengenai (pasal) kewajiban konsultasi ini. Kami tak pernah ikut dan tak pernah diundang," kata Husni.
Ketika ditanya kemungkinan KPU mengajukan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, Husni belum bisa menjawab secara eksplisit. Dia masih menunggu harmonisasi aturan yang dilakukan pemerintah.
Dia menambahkan keberadaan KPU sejatinya ada di Undang-Undang Dasar 1945. KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Apabila konsultasi itu hasilnya dipaksakan mengikat, ini bisa berpotensi mengganggu komando seperti dalam UUD," katanya.
"KPU terus bekerja sebagaimana perintah UU. Kalau ada UU baru kami akan laksanakan tugas sebagimana UU baru mengatur," Husni menambahkan.