Suara.com - Melalui diskusi yang bertajuk 'Catatan Hasil Revisi Undang-Undang Pilkada', Koalisi Masyarakat Sipil Pilkada Berintegritas menilai, hasil revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah masih memiliki kelemahan.
Kelemahan pertama terdapat pada Pasal 7 yang membahas terkait perbaikan syarat calon kepala daerah.
Dalam keterangan resmi, Koalisi Pilkada Berintegritas memandang DPR tidak mengakomodir rekomendasi yang melarang diloloskannya bakal calon yang sedang bermasalah dengan hukum atau berstatus tersangka.
Jika hendak dipersempit dan diberikan kekhususan, maka larangan bisa disampaikan kepada orang yang menjadi tersangka kasus korupsi.
"Hal ini menjadi penting untuk menjaga standar tinggi integritas calon kepala daerah yang akan dipilih oleh masyarakat. Namun ketentuan akhirnya tidak disepakati oleh DPR dan Pemerintah," kata koordinator Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, dalam keterangan resminya, Minggu (5/6/2016).
Kelemahan kedua, yaitu tentang keharusan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu untuk berkonsultasi kepada DPR dalam merumuskan Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.
"Setiap arahan dan petunjuk dari DPR terkait dengan penyusunan peraturan KPU dan Bawaslu wajib untuk diikuti dan diterapkan," kata Fadli.
Katanya, keharusan konsultasi tersebut meniadakan sifat indpendensi kedua lembaga, KPU dan Bawaslu.
"Ketentuan ini tentu saja merusak prinsip kemandirian dari kedua lembaga penyelenggara pemilu ini. Apalagi, tidak ada satupun komisi-komisi negera independen yang ada di Indonesia, mesti mengkonsultasikan peraturan yang dibuat kelembagaannya kepada DPR," tutur Fadli.
Koalisi Masyarakat Sipil Pilkada Berintegritas merupakan aliansi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesian Corruption Watch (ICW), Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR), Kode Inisiatif dan IPC.