Demo Anti PKI di Monas Disusupi Aksi Anti Ahok

Jum'at, 03 Juni 2016 | 16:25 WIB
Demo Anti PKI di Monas Disusupi Aksi Anti Ahok
Massa Forum Umat Islam yang siang ini demonstrasi anti Partai Komunis Indonesia di tugu Monas, Jakarta Pusat, membawa berbagai macam spanduk, di antaranya anti Ahok [suara.com/Nikolaus Tolen]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Massa Forum Umat Islam yang siang ini demonstrasi anti Partai Komunis Indonesia di tugu Monas, Jakarta Pusat, membawa berbagai macam spanduk. Spanduk-spanduk tersebut untuk menolak kebangkitan komunisme.

Tetapi, ada sebagian spanduk yang temanya lain. Isi spanduk yang menarik perhatian tersebut adalah: Ahok nggak pantes tinggal di DKI, Ahok lebih pantas tonggal di bui, karena Ahok suka korupsi,,,,'

Spanduk lain yang dibawa demonstran menyinggung dinamika politik menjelang pilkada Jakarta periode 2017-2022.
#Gubernur Muslim untuk Jakarta, Menuju Jakarta Berkah, bersih, dan beradab, demikian tulisan spanduk tersebut.

Aksi massa yang dinamai sebagai apel siaga nasional terhadap ancaman PKI siang ini dipimpin oleh Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab dan Ketua DPP Gerakan Bela Negara Mayjen (purn) Budi Sudjana.

Mereka mengatakan anggotanya siap mengganyang komunissme.
 
"Siap ganyang PKI, siap berkorban untuk ganyang PKI. Siapa yang bunuh Ulama,?PKI, siapa yang bunuh jenderal kita? PKI. PKI itu jahat, dan harus diganyang. Kita siap razia atribut-atribut PKI, kita siap melarang kegaitan-kegiatan PKI," kata Rizieq.

Setelah aksi di Monas, mereka bergeser ke depan Istana Merdeka. Mereka mendesak Presiden Joko Widodo jangan pernah berdamai dengan PKI.

Pembicaraan tentang PKI mengemuka lagi setelah berlangsung simposium nasional bertema Membedah Tragedi 1965 yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, pada Senin (18/4/2016) dan Selasa (19/4/2016). Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 adalah Letjen (Purn) Agus Widjojo. Agus merupakan Gubernur Lemhanas. Simposium ini diprakarsai oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Forum Solidaritas Anak Bangsa serta didukung Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan.

Simposium tersebut semangatnya mendorong negara melakukan rekonsiliasi dengan korban peristiwa 1965.

Tak lama kemudian, muncul simposium baru yang semangatnya untuk menolak rekonsiliasi seperti yang diinginkan simposium di Aryaduta. Yakni, simposium nasional bertajuk Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi yang diselenggarakan di Balai Sarbini, Jakarta, pada Rabu (1/6/2016) dan Kamis (2/6/2016). Simposium anti PKI ini diketuai Letnan Jenderal (Purn) TNI Kiki Syahnakri.

Wakil ketua DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon menyalahkan pemerintah atas munculnya polemik kebangkitan PKI akhir-akhir ini. Fadli menilai pemerintah ikut terlibat mengangkat masalah yang sebenarnya sudah selesai.

"Yang membuat kekisruhan dari awal pemerintah, pemerintah mengangkat satu masalah yang sebenarnya sudah selesai," kata Fadli di gedung Nusantara III, DPR RI, Jakarta, Rabu (1/6/2016).

Menurut Fadli rekonsiliasi di tingkat masyarakat sudah terbangun sehingga pemerintah tidak perlu mencari-cari siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku.

"Tidak perlu lagi rekonsiliasi yang mengangkat-angkat siapa yang menjadi korban, siapa yang menjadi pelaku," tutur Fadli.

"Karena saat itu, kan situasinya adalah chaos, kadang-kadang ada situasi antara membunuh dan dibunuh. Itu yang diceritakan, saya belum lahir," Fadli menambahkan.

Fadli mengatakan saat ini sudah tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka yang dicurigai sebagai terlibat PKI. Anak cucu mereka pun sudah diberikan keleluasaan mendapatkan hak sebagai warga negara Indonesia.

Berbeda di zaman Orde Baru yang memang membatasi hak orang-orang yang terindikasi sebagai anggota dan keluarga PKI.

"Jadi untuk apa? Toh tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. Tidak ada lagi kematian perdata atau apa. Dulu, kan memang pernah suatu masa, di jaman Orde Baru mereka ditandai dengan eks tapol dan sebagainya. Tapi, kan sudah tidak ada, mereka mau ikut di DPR juga boleh, jadi sudah cair," tutur Fadli.

Menurut Fadli peristiwa 65 cukup dijadikan bagian dari sejarah dan diambil hikmahnya.

"Rekonsiliasi yang sudah cair lebih 50 tahun ini seharusnya ya sudah berjalan, kita ingat sebagai bagian dari pelajaran sejarah, diambil hikmahnya," kata Fadli.

Ketua Setara Institute Hendardi angkat bicara mengenai maraknya razia terhadap penggunaan simbol palu arit, menyusul sejumlah pelarangan terhadap kegiatan yang mempromosikan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965 akhir-akhir ini.

Hendari menduga propaganda tentang kebangkitan PKI yang mengaitkan sejumlah kegiatan yang mempromosikan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965, baik melalui film, diskusi, dan penerbitan buku, merupakan desain pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengadu domba masyarakat, menghalangi niat negara melakukan rekonsiliasi, dan membenarkan seluruh pembatasan dan persekusi kebebasan sipil.

Hendardi menambahkan penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965.

"Agak ganjil ketika TNI dan Polri merasa confirm bahwa PKI akan bangkit, padahal mereka memiliki intelijen yang bisa memberikan informasi akurat perihal fenomena di balik berbagai pembatasan dan persekusi atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul yang dalam tiga bulan terakhir terus terjadi," kata Hendardi kepada Suara.com, Rabu (11/5/2016).
Hendardi mengatakan kalangan awam pun sebenarnya ragu akan propaganda kebangkitan PKI, mengingat konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang semakin demokratis.

Di sisi lain, kata dia, PKI sebagai sebuah partai juga mustahil bisa berdiri di Indonesia. Menurut dia, sikap TNI dan Polri yang turut mereproduksi propaganda tersebut menunjukkan bahwa intelijen mereka tidak bekerja.

"Atau bisa jadi justru pihak TNI adalah bagian dari kelompok yang melakukan penolakan atas upaya masyarakat sipil mendorong pengungkapan kebenaran. Situasi ini jelas tidak produktif bagi praktik demokrasi dan pemajuan HAM. Apalagi statement-statement Menhan RI misalnya, bukan malah menyejukkan, tapi malah menyebarkan kebencian dan memperkuat segregasi sosial," katanya.

Hendardi menambahkan publik perlu tahu bahwa korban dari propaganda bukan hanya korban 1965, tetapi kebebasan sipil warga. Bahkan, mereka yang tidak membahas soal PKI pun dipersekusi dengan stigma yang sama.

"Jokowi sebaiknya segera bersikap soal rencana menyusun skema penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, sehingga dinamika dan kohesi sosial tidak rusak akibat propaganda-propaganda yang tidak berdasar," kata Hendardi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI