Suara.com - Presiden ke-3 Indonesia, BJ Habibie tidak setuju dengan adanya hukuman mati. Alasannya karena budaya dan agama yang dia anut.
Hal itu dikatakan Habibie saat menghadiri peluncuran buku ‘Politik Hukuman Mati di Indonesia’ karya Robertus Robet dan Todung Mulya di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (31/5/2016). Dalam peluncuran buku tersebut hadir pula mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidique dan penulis buku Robertus Robet dan Todung Mulya Lubis.
"Pertama kali Pak Jimly mengatakan kepada saya, bagaimana ini hukuman mati? Saya dengan spontan menjawab saya tidak setuju dengan hukuman mati," ujar Habibie.
Kata Habibie, dia bukan ahli hukum, namun dirinya merupakan warga negara Indonesia yang telah menikmati proses perbudayan dan pendidikan yang diberikan oleh orangtua.
"proses pembudayaan itu ada sinerginya dari budaya masing-masing dan agama dan lingkungan masing-masing. Saya harus jelaskan karena ini membentuk sikap saya anti hukuman mati, karena lingkungan demikian, saya tumbuh,"ucapnya.
Berdasarkan proses pembudayaan tersebut, lanjut Habibie, meyakini bahwa yang mempunyai hak untuk mengakhiri kehidupan manusia adalah sang pencipta.
"Saya berkeyakinan karena pembudayan yang saya katakan itu, dan keadaan menjadikan saya yakin bahwa saya tidak punya hak sebagai manusia untuk mengakhiri kehidupan. Hak itu adalah hak prerogratif dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keyakinan itu Anda tanya kepada Habibie, hukuman mati, nggak mau. Saya nggak setuju," tegasnya.
Oleh karena itu dirinya menilai untuk menyelesaikan masalah serumit apapun harus memperhatikan empat aspek yakni penyelesaian yang berlaku secara umum. Lalu kedua penyelesaian yang harus memenuhi kendala yang ada di dalamnya.
"Penyelesaian juga harus memperhatikan kendala yang ada dalam dipikiran dan keempat adalah waktu. Jadi yang menentukan itu pada waktunya," ungkapnya.